Pengibaran bendera One Piece juga menjadi bentuk kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil dan tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial.
“Jujur, di dadaku tetap bendera merah putih. Tapi dengan situasi ekonomi saat ini, saya selaku sopir semakin sulit menapkahi keluarga,” tutur Wawan (50), sopir bak terbuka yang mengangkut gas melon ketika ditemui di Cikalang, Cileunyi, Selasa (19/8/2025).
Menurut Wawan, meski di mobil bak terbuka yang ia kemudikan juga dikibarkan bendera merah putih, bendera One Piece dipasang juga sebagai aspirasi dan keluh kesal masyarakat kecil.
“Dipasangnya bendara One Piece di kendaraan nilai sah-sah saja meski bendera merah putih paling diutamakan,” ungkapnya.
Pak Gubernur Jabar Kang Dedi Mulyadi (KDM) pun alias “Bapa Aing”, kata Wawan, tak pernah melarang pengebaran bendara One Piece.
“Ini ‘kan bentuk ekspresi masyarakat menyuarakan pendapat. Gubernur KDM juga tak melarang pengibaran bendera One Piece. Bahkan Wapres Gribran Rakabuming Raka pun saat debat Capres/Cawapres di bajunya terpasang pin One Piece,” tutupnya.
Bendera One Piece, dalam konteks ini, apakah menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan.
Bagi sebagian orang, ini adalah cara untuk menyampaikan aspirasi mereka secara kreatif dan efektif, memanfaatkan popularitas budaya populer untuk menjangkau lebih banyak orang.
Bahkan banyak yang menegaskan bahwa pengibaran bendera One Piece bukan bermaksud untuk merendahkan bendera Merah Putih atau simbol negara lainnya, tetapi sebagai bentuk ekspresi dan penyampaian pesan yang berbeda.
Perlu dicatat pula bahwa meski bendera One Piece digunakan sebagai simbol kritik, hal ini tidak selalu berarti bahwa mereka yang melakukannya anti-negara atau ingin melakukan pemberontakan.
Ini adalah cara mereka mengekspresikan ketidakpuasan dan harapan akan perubahan.***