TERASJABAR.ID – Tahun 2025 menjadi periode visualisasi gambar mafia peradilan yang menyisakan kegelisahan mendalam bagi wajah penegakan hukum di Indonesia.
Dalam satu rentang waktu, tujuh hakim harus berhadapan dengan proses hukum.
Ini sebuah ironi pahit bagi profesi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan.
Mereka yang diberi mandat untuk menegakkan hukum justru tercatat memperjualbelikan keadilan itu sendiri.
Tiga hakim terseret dugaan suap senilai total Rp4,67 miliar demi menjatuhkan vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dalam perkara penganiayaan yang merenggut nyawa Dini Sera Afrianti pada Oktober 2023.
Di sisi lain, empat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diduga terlibat dalam praktik transaksional terkait putusan lepas perkara fasilitas ekspor minyak sawit.
Dari proses negosiasi yang mencederai akal sehat, nilai suap yang semula disiapkan Rp20 miliar justru membengkak hingga sekitar Rp30,4 miliar.
Pengakuan hakim nonaktif Ali Muhtarom yang menerima Rp6,2 miliar semakin menegaskan betapa rapuhnya integritas lembaga peradilan.
Kasus tersebut menyeret total lima hakim dan pegawai pengadilan, dengan nilai suap yang ditaksir mencapai Rp40 miliar.
Catatan kelam ini bukan peristiwa tunggal. Data ICW dan KPK menunjukkan puluhan hakim telah terjerat korupsi dalam dua dekade terakhir, menjadikan profesi ini sebagai penegak hukum dengan jumlah kasus terbanyak.
Fakta tersebut menampar kesadaran publik: penjaga keadilan justru menjadi pihak yang paling dipertanyakan integritasnya.
Kaleidoskop 2025 pun mencatat kegamangan besar.
Saat palu hakim yang mestinya menjadi simbol keadilan, justru berubah menjadi alat transaksi.
Sebuah peringatan keras bahwa reformasi peradilan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.-***
















