TERASJABAR.ID – Vonis terhadap mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, menjadi salah satu catatan kelam yang membekas dalam kaleidoskop penegakan hukum tahun 2025.
Pria yang pernah berada di lingkaran elite lembaga yudikatif itu dijatuhi hukuman 16 tahun penjara serta denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan setelah dinyatakan terbukti melakukan permufakatan jahat dalam praktik suap penanganan perkara pembunuhan dengan terpidana Ronald Tannur.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menilai Zarof tidak hanya terlibat dalam skema suap. Tapi, juga menerima gratifikasi dalam jumlah fantastis yang berkaitan langsung dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajiban hukum yang melekat padanya.
Total gratifikasi yang diterima disebut melampaui Rp1 triliun, mencerminkan praktik korupsi yang sistematis dan masif.
Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim menegaskan bahwa perbuatan Zarof bertolak belakang dengan komitmen pemerintah yang tengah menggalakkan agenda pemberantasan korupsi.
Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti, dengan nada emosional, menyebut tindakan terdakwa telah mencoreng nama baik Mahkamah Agung sekaligus meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Lebih jauh, sikap Zarof dinilai mencerminkan keserakahan.
Meski telah memasuki masa purnabakti dan memiliki harta berlimpah, ia tetap memilih jalan melanggar hukum.
Putusan tersebut juga memerintahkan perampasan aset berupa uang tunai sekitar Rp915 miliar dan 51 kilogram emas untuk disetorkan ke kas negara.
Kasus Zarof Ricar menegaskan ironi besar dunia peradilan.
Ketika mereka yang seharusnya menjaga marwah hukum justru menjadi simbol pengkhianatan terhadap keadilan.
Peristiwa ini menjadi pengingat pahit bahwa reformasi peradilan masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia.-***













