TERASJABAR.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sepanjang 2025 menghadirkan potret kebijakan yang sarat ambisi, kontroversi, sekaligus persoalan serius di lapangan.
Di awal pelaksanaannya, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengantongi anggaran Rp71 triliun yang diperkirakan hanya mampu menjangkau sekitar 15–17,5 juta penerima manfaat.
Demi memperluas cakupan hingga puluhan juta orang, Dadan mengajukan tambahan anggaran kepada Presiden Prabowo Subianto.
Presiden pun menyetujui penambahan anggaran, meski di tengah perjalanan muncul fakta mengejutkan ketika sebagian dana justru dikembalikan karena serapan dinilai belum optimal.
Hingga pertengahan Desember 2025, realisasi anggaran MBG tercatat mencapai Rp52,9 triliun dengan jumlah penerima manfaat sekitar 50 juta orang yang dilayani oleh ribuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Di sisi lain, DPR menyetujui lonjakan anggaran MBG dalam RAPBN 2026 hingga Rp335 triliun, dengan harapan program ini mampu menciptakan jutaan lapangan kerja baru serta melibatkan UMKM, koperasi, dan BUMDes sebagai penopang ekosistemnya.
Namun, perjalanan MBG tidak lepas dari kritik tajam.
Menu makanan yang dinilai sarat Ultra Processed Food (UPF) memicu perdebatan antara pakar gizi dan pengelola program.
Sejumlah ahli menilai penggunaan UPF menyimpang dari semangat perbaikan gizi berbasis pangan lokal, sementara pihak BGN menegaskan UPF tidak dilarang selama dikonsumsi secara wajar.
Persoalan paling serius muncul dari rangkaian insiden, mulai dari ribuan kasus keracunan siswa hingga kecelakaan kendaraan SPPG yang melukai pelajar.
Data korban pun simpang siur, menandakan lemahnya tata kelola dan pengawasan.
Kaleidoskop MBG 2025 pun memperlihatkan kontras tajam antara janji besar kebijakan populis dan realitas lapangan yang masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi negara.-***

















