TERASJABAR.ID – Pemberian rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT. ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi dan 2 pejabat ASDP lainnya atas kasus pidana korupsi melecut perdebatan publik.
Relasi antara kekuasaan eksekutif dan putusan lembaga yudikatif pun disoal.
Di satu sisi, langkah rehabilitasi dinilai sebagai upaya korektif terhadap kemungkinan ketidakadilan dalam proses hukum yang telah dilalui para mantan pejabat tersebut.
Kebijakan ini, di sisi lainnya, juga memunculkan kekhawatiran akan terjadinya intervensi terhadap putusan pengadilan yang sebelumnya telah berkekuatan hukum tetap.
Bagi sebagian kalangan, rehabilitasi ini membuka kembali luka lama tentang independensi peradilan dan batas kewenangan presiden dalam wilayah hukum pidana.
BACA JUGA: Bandara ‘Siluman’ di Morowali Jadi Isu Nasional, DPR Ingatkan Ancaman Keamanan
Menanggapi polemik tersebut, Juru Bicara Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. Yanto, S.H., M.H., menjelaskan bahwa pemberian grasi maupun rehabilitasi merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa Presiden dapat memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
“Presiden berhak memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Jadi itu hak istimewa.” ucap Prof. Yanto.
Artinya, kewenangan tersebut tidak bersifat sepihak, melainkan tetap melibatkan lembaga yudikatif sebagai bagian dari mekanisme checks and balances.
Prof. Yanto menambahkan bahwa kebijakan rehabilitasi biasanya diambil dengan pertimbangan yang lebih luas, tidak semata-mata untuk kepentingan individu, tetapi juga untuk kepentingan yang lebih besar bagi negara.
Dengan demikian, keputusan ini tidak dapat serta-merta ditafsirkan sebagai pelemahan hukum, melainkan sebagai bagian dari kewenangan konstitusional yang dijalankan berdasarkan pertimbangan tertentu.
Meski begitu, publik tetap berhak mengkritisi dan mengawasi agar penggunaan hak istimewa tersebut tidak mencederai rasa keadilan serta kepercayaan terhadap sistem hukum Indonesia.-***













