TERASJABAR.ID – Di tengah hiruk-pikuk politik nasional yang kerap tersandera tarik-menarik kepentingan.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI memosisikan dirinya sebagai katalis agenda reformasi dari pinggiran.
Pada periode kepemimpinan 2024–2029, Sultan B. Najamudin mengerek tinggi gagasan “Green Democracy” yakni demokrasi yang menautkan keberlanjutan lingkungan dengan penguatan otonomi daerah.
“Pembangunan inklusif dimulai dari daerah yang kuat. Jika daerah terintegrasi dalam kebijakan strategis nasional, pemerataan dan keberlanjutan bisa dicapai tanpa meninggalkan siapa pun.” ujar Sultan saat press gathering DPD di Hotel Aryaduta Bandung. Sabtu (22/11/2025) malam.
Gagasan itu, tegas Sultan, menjadi fondasi DPD ketika mendorong penguatan kerangka hukum baru, termasuk pembahasan RUU Iklim dan RUU Masyarakat Adat, dua instrumen strategis yang selama ini bergerak lambat di Senayan.
“DPD ingin memastikan bahwa keberlanjutan ekologis dan hak-hak komunal tidak lagi menjadi isu pinggiran,” katanya.
Sultan menuturkan, dalam rumusan Green Democracy, DPD menempatkan daerah sebagai subjek utama.
“Bukan sekadar pelaksana kebijakan pusat, melainkan penentu langkah pembangunan yang lebih adaptif terhadap risiko lingkungan dan sosial;” ujarnya
Sultan menekankan bahwa daerah memiliki medan politik, geografis, dan ekonomi yang berbeda-beda. Itulah sebabnya, menurutnya, sentralisasi kebijakan tanpa memahami konteks lokal hanya akan memperlebar ketimpangan.
“Daerah punya potensi unik sumber daya alam, perikanan, pariwisata yang bisa menjadi pilar pertumbuhan inklusif jika diberi ruang bertumbuh,” ujar Sultan.
Ia menambahkan bahwa inovasi berbasis lokal adalah kunci agar Indonesia tidak terus mengekor pada kebijakan seragam dari pusat.
Terkait dengan dorongan terhadap RUU Iklim adalah salah satu upaya menambal kekosongan kebijakan nasional. Indonesia berada di garis depan krisis ekologis, namun kerangka pengelolaan iklim di tingkat daerah masih rapuh.
“DPD ingin memastikan bahwa respons iklim bukan sekadar jargon birokrasi,” katanya.
Sementara itu, RUU Masyarakat Adat dipandang sebagai prasyarat politik identitas yang lebih sehat. Pengakuan hak adat—terutama dalam konteks tanah dan sumber daya alam—menjadi elemen penting bagi tata kelola lingkungan yang berkeadilan.
DPD melihat kedua RUU itu sebagai jembatan untuk mempraktikkan demokrasi hijau, sekaligus mencegah konflik agraria dan ekologis yang terus berulang.
Menurut Sultan, ide sebesar apa pun tidak akan berjalan dengan anggaran yang buruk. Karena itu ia menggarisbawahi pentingnya peningkatan kualitas belanja daerah dan pengawasan anggaran yang ketat.
“Tanpa pengawasan yang memadai, program pembangunan tidak akan sampai ke masyarakat. Belanja daerah harus efektif, tepat sasaran, dan transparan,” katanya.
Bagi Sultan B. Najamudin, Indonesia tidak akan maju jika kemajuan hanya menumpuk di pusat kekuasaan. Ia memetakan pembangunan inklusif seperti mozaik, setiap daerah adalah bagiannya, dan kehilangan satu keping akan merusak gambar besar.
Dengan paradigma Green Democracy, penguatan otonomi daerah, dan dorongan terhadap regulasi iklim serta masyarakat adat, DPD ingin memastikan bahwa transisi demokrasi Indonesia tidak hanya stabil, tetapi juga berkelanjutan dan berkeadilan.
Press gathering dihadiri anggota DPD se Indonesia dan 100 Wartawan parlemen yang setia hari meliput kegiatan DPD.










