Oleh Subchan Daragana/Magister Komunikasi UBakrie
Di tengah riuh demokrasi digital, muncul jargon sederhana yang viral di kalangan anak muda: “OK Gas!”
Ia melintas di meme, video TikTok, dan obrolan daring, menjadi simbol keberanian dan semangat zaman. Dua kata yang ringkas, penuh energi, dan terasa akrab di telinga generasi digital.
Namun di balik tawa dan tepuk tangan virtual itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: ke mana arah dari semangat ini?
Generasi muda tampak penuh gairah politik, tapi sering tanpa arah nilai. Mereka bergerak cepat, bereaksi spontan, namun tak selalu tahu untuk apa. Mereka “gas” dalam urusan politik, tapi tak banyak yang tahu kapan dan ke mana harus “ngerem”.
Demokrasi yang Berjalan Tanpa Kompas
Fenomena ini bukan khas Indonesia saja. Dalam The Oxford Handbook of Digital Media Sociology (Earl, Scovill, & Ramo, 2022), para peneliti menunjukkan bahwa anak muda di seluruh dunia sebenarnya tidak apatis terhadap politik.
Sebaliknya, mereka aktif — hanya saja bentuk keterlibatannya berubah. Dari politik formal menjadi participatory politics: aktivisme digital, konsumsi politik, pembuatan konten, dan kampanye daring.
Mereka hadir dalam politik, tapi dalam bentuk ekspresi, bukan refleksi.
Di Indonesia, bentuk partisipasi itu sering jatuh pada kedangkalan simbolik: politik dianggap hiburan, demokrasi menjadi trend, bukan tanggung jawab.
Sementara negara seolah puas dengan keterlibatan superfisial ini. Pemerintah dan elite merasa demokrasi berjalan baik karena publik ramai bicara, padahal sebagian besar masih belum paham apa yang dibicarakan. Kita seperti mengendarai kendaraan besar tanpa peta moral. Semangatnya besar, tapi arah dan tujuannya kabur.
Dari Politik Nilai ke Politik Viral:
Media sosial mengubah cara orang berpolitik. Logika algoritma menggantikan logika moral. Yang viral dianggap benar, yang ramai dianggap relevan. Tapi politik tidak seharusnya tunduk pada algoritma — ia seharusnya tunduk pada nilai.
Anak muda kini sering mengenal politik bukan melalui pemahaman, tetapi melalui trending topic. Bukan dari literasi, tapi dari sensasi. Padahal, dalam pandangan Islam klasik, politik (siyasah) bukan panggung perebutan kuasa, melainkan seni menata kehidupan umat dengan ilmu dan amanah.