Oleh: Subchan Daragana
Pemerharti Sosial / Magister Komunikasi UBakrie
Kita hidup di zaman yang serba cepat. Informasi agama berseliweran di media sosial—potongan hadis, potongan ayat, potongan ceramah. Semuanya terasa mudah diakses, tapi sering kali justru melahirkan kebingungan. Sebab, umat lebih sering mengutip hadis tanpa memahami kepada siapa Rasulullah ﷺ berbicara, dalam situasi apa, dan dengan maksud apa.
Padahal, di balik setiap hadis, ada peristiwa, manusia, dan konteks sosial yang membuat sabda Nabi menjadi hidup dan menyentuh. Rasul tidak berbicara di ruang hampa; beliau berbicara kepada sahabat yang berbeda-beda latar belakang, pengalaman, dan kondisi spiritualnya.
Setiap Hadist Punya Wajah dan Suasana :
Coba kita lihat Abu Hurairah ra. Ia dikenal sebagai perawi terbanyak hadist karena kecintaannya pada ilmu, tapi juga karena Rasul menyampaikannya banyak nasihat tentang penguatan iman dan dzikir — sesuai dengan jiwanya yang lembut dan peka.
Sementara kepada Umar bin Khattab ra, Rasullulah SAW berbicara dengan gaya tegas, penuh logika, karena Umar memang berkarakter pemimpin yang rasional dan bertanggung jawab.
Kepada ‘Aisyah ra , Rasul berdialog penuh kasih dan penjelasan ilmiah.
Kepada Ali, Rasul berbicara dengan kedalaman makna, menyentuh akal dan batin.
Artinya, setiap sabda Rasul adalah cermin kasih yang disesuaikan dengan siapa yang berdiri di depannya. Di sinilah kita belajar bahwa memahami hadis bukan sekadar menghafal teks, tapi menyatu dengan konteks.
Hadis Turun Sesuai Kematangan Jiwa:
Rasulullah ﷺ tidak pernah memaksa umatnya untuk langsung “sempurna.” Beliau menuntun umat setahap demi setahap.
Ketika ada sahabat yang baru mengenal Islam, Rasul menanamkan dasar iman dan tauhid.
Kepada sahabat yang sudah matang ruhiyahnya, beliau memberikan tugas kepemimpinan dan jihad.
Kepada sahabat yang mengalami kelemahan, beliau memberi penghiburan dan dorongan lembut.
Inilah yang disebut pendidikan bertahap dalam spiritualitas.
Menjadi sholeh bukan perlombaan, tapi perjalanan.
Setiap orang punya fase — dari belajar mengenal Allah, hingga belajar mencintai Allah. Rasul memahamkan itu dengan bahasa kasih, bukan penilaian.