Oleh : Subchan Daragana
Pemerhati Sosial / Magister Komunikasi Ubakrie
Prolog: Ketika Amal Jadi Pertunjukan.
Kita hidup di zaman ketika jari lebih sibuk menari di layar ketimbang hati yang hening berzikir. Media sosial telah menjelma panggung raksasa tempat manusia mementaskan kehidupannya. Di sana, amal baik difoto, sedekah dipamerkan, ibadah dipublikasikan, bahkan doa pun dibungkus status. Semua ingin dilihat, semua ingin diakui. Namun, di balik semua itu ada pertanyaan mendasar: apakah Allah masih menjadi tujuan utama, ataukah kita hanya mengejar validasi manusia?
Fenomena ini tidak sekadar kebiasaan, melainkan candu. Otak manusia ternyata memproduksi dopamin—zat kimia yang memberi rasa senang—setiap kali notifikasi “like”, komentar, atau “share” muncul. Semakin sering kita mendapat validasi digital, semakin kuat pula keinginan untuk mengulanginya. Seperti lingkaran tanpa ujung, manusia makin terikat pada pengakuan manusia, hingga lupa pada pengakuan Allah.
Mekanisme Validasi Digital: Like, Share, Follow.
Media sosial diciptakan bukan sekadar untuk berbagi, melainkan untuk membuat kita betah. Setiap fitur didesain dengan cermat agar kita terus kembali, terus terikat.
Like adalah simbol pengakuan instan. Ketika kita memposting amal atau aktivitas, jumlah like terasa menjadi cermin nilai diri. Padahal, hati kecil tahu: niat tidak bisa diukur dengan jempol virtual.
Share mempercepat eksposur. Amal yang dibagikan bisa menginspirasi, tetapi juga bisa menjerumuskan pada pamer.
Follow menciptakan hirarki sosial baru. Siapa yang punya banyak pengikut dianggap lebih berpengaruh, lebih penting, lebih “hebat”.
Engagement menjadi mata uang era digital. Semakin tinggi interaksi, semakin dianggap berhasil. Namun, di mata Allah, ukuran keberhasilan bukan viralitas, melainkan keikhlasan.