Yayat mengungkapkan, ketika proses sengketa lahan, warga tidak diberitahukan berapa rincian harga ideal tanah serta bangunan mereka.
“SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang), sertifikat kita ada, tapi itu semua dirampas. Warga (sekarang) tidak punya berkas selembar pun, tapi kita saat ini punya dokumen yang tertinggal,” ungkapnya.
Yayat memaparkan, berkas dokumen yang dimaksudkan itu, yakni rincian pembelian tanah milik warga, dengan total nominal Rp432 miliar yang tercatat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Data lembaran dari P2T didapatkan dari bu Ratna dari PPK Lahan, waktu itu PPKA (Penyisihan Penilaian Kualitas Aset) di Cimalaka. Didapatkan pada 2014,” paparnya.
“Didapatkan lagi 2023 dari BPN Jakarta (Nasional). Itu kerugian pada pencairan 2010 dan 2017. Banyak audensi kita lakukan tapi belum juga ada penyelesaian,” pungkas Yayat.***