Luas tanah tersebut, kata Yayat rencananya dibeli pemerintah dengan biaya sebesar Rp432 miliar. Akan tetapi, jumlah nominal yang djanjikan itu, sampai sekarang belum diberikan sepenuhnya kepada warga terdampak.
“Yang diberikan pemerintah kepada warga terdampak baru sebesar Rp28 miliar. Sisanya yang Rp404 miliar itu dikemanakan?,” terang Yayat.
“Dikatakan sudah dibayar. Jika memang sudah dibayar mana kwitansi pembayaran? Mana print out (berkas)nya? Berapa harga yang sebenarnya? Itu tidak ada,” tandasnya.
Diungkapkan Yayat, ketika hendak menyepakati bahwa lahan-lahan warga akan dibeli pemerintah untuk digunakan dalam proyek nasional, mereka tak diberikan keleluasan saat bertransaksi.
Berkas dokumen warga atas kepemilikan tanah, diakuinya dibawa oleh pemerintah. Termasuk saat hendak menandatangani kesepakatan, mereka tidak dibolehkan membaca surat perjanjiannya.
“Jadi semua berkas itu dirampas oleh P2T (Panitia Pengadaan Tanah). Ketika tanda tangan (kesepakatan) juga ditutupi, tidak boleh dibaca dulu,” jelasnya.
Mirisnya, Yayat mengaku pada saat hendak melakukan kesepakatan, para warga diancam jika tidak menanda tangani berkas, maka barang alias tanah mereka hilang dan uang pun tak akan diberikan.
“Itu kata kepengurusan Pemda Sumedang. Jadi kami warga menerima kesepakatan tersebut karena diintimidasi, dipaksa oleh oknum P2T dan BPN (Sumedang), ada buktinya,” bebernya.