Beberapa faktor yang diduga memicu banyaknya dislike antara lain:
- Dugaan Pencitraan Politik
Pengamat politik dari BRIN, Lili Romli, menilai video monolog Gibran merupakan upaya untuk mencari perhatian publik, terutama kalangan muda, dengan mengangkat isu bonus demografi yang relevan. Namun, format monolog yang terkesan terlalu terstruktur membuat sebagian netizen menganggapnya sebagai alat pencitraan. Lili juga memperingatkan bahwa video ini bisa menjadi bumerang jika publik merasa Gibran tidak autentik, terutama karena gaya bicaranya di monolog berbeda dengan saat berbicara langsung, yang sering dianggap kurang fasih. - Kritik dari Kunto Aji
Musisi Kunto Aji secara terbuka mengkritik Gibran melalui unggahan di media sosial pada 20 April 2025. Ia menyindir Gibran karena dianggap “mengambil kredit” atas kesuksesan Jumbo tanpa menyebutkan nama sutradara Ryan Adriandhy secara spesifik. Kunto menyebut Gibran hanya “riding the wave” atau ikut-ikutan memanfaatkan popularitas film tersebut. Cuitan Kunto yang menyertakan tangkapan layar komentar negatif netizen memicu diskusi lebih luas, yang kemungkinan memperburuk persepsi terhadap video Gibran. - Konteks Isu Bonus Demografi
Meskipun Gibran optimistis tentang bonus demografi, beberapa netizen dan pengamat, seperti Adi Prayitno dari UIN Syarif Hidayatullah, menyoroti tantangan nyata yang dihadapi generasi muda, seperti tingginya angka pengangguran sarjana dan mahalnya biaya pendidikan (misalnya, UKT perguruan tinggi). Kesenjangan antara narasi optimistis Gibran dan realitas sosial ini diduga memicu ketidakpuasan, yang tercermin dalam banyaknya dislike. - Sentimen Publik terhadap Gibran
Sejak menjabat sebagai wapres, Gibran kerap menjadi sasaran kritik karena dianggap kurang berpengalaman dan mendapat privilege sebagai putra Presiden Joko Widodo. Video monolog ini, meskipun membahas isu penting, dianggap sebagian netizen sebagai upaya untuk “membangun citra” di tengah eksposur publik yang menurun setelah program seperti Lapor Mas Wapres kurang mendapat perhatian berkelanjutan.
Respons Publik dan Kontroversi
Reaksi publik terhadap video ini terbagi. Sebagian mendukung Gibran karena menganggap pesannya relevan dan memotivasi, terutama soal pentingnya memanfaatkan bonus demografi dan mendukung karya anak muda seperti Jumbo.
Namun, banyak pula yang menyuarakan kekecewaan. Di X, beberapa pengguna menyebut video ini “hanya omong kosong” dan mempertanyakan tindakan nyata Gibran untuk mengatasi tantangan seperti pengangguran dan akses pendidikan. Komentar seperti “Kosongnya natural” dari netizen yang disorot Kunto Aji mencerminkan sentimen sinis terhadap narasi Gibran.
Selain itu, apresiasi Gibran terhadap Jumbo menuai kritik karena dianggap tidak tulus. Jumbo, yang telah meraup 4 juta penonton dan menjadi film animasi terlaris di Asia Tenggara, memang mendapat pujian luas karena kualitas animasinya yang setara dengan produksi internasional. Namun, fakta bahwa Gibran baru membahasnya setelah film ini viral dianggap sebagai upaya untuk “mengklaim” kesuksesan tanpa kontribusi nyata.
Fakta Tambahan tentang Film Jumbo
Film Jumbo, yang disutradarai Ryan Adriandhy, berkisah tentang Don, seorang anak yang menghadapi perDEFINE dan menemukan keberanian melalui petualangan fantasi. Film ini dipuji karena visualnya yang memukau, nuansa lokal yang kental, dan pesan tentang persahabatan serta penerimaan diri.
Digarap selama lima tahun oleh lebih dari 400 kreator, Jumbo berhasil menembus pasar internasional dan mendapat sambutan hangat, dengan 1,6 juta penonton dalam 9 hari pertama per April 2025. Namun, tidak ada laporan bahwa film ini mendapat banyak dislike di platform seperti YouTube, sehingga klaim dislike lebih banyak tampaknya hanya berlaku untuk video Gibran, bukan film itu sendiri.