TERASJABAR.ID – Korupsi etika kerap lupa dari sorotan, dan tidak selalu tercatat dalam berkas perkara, namun pelan-pelan menggerogoti kepercayaan publik, melemahkan institusi, dan merusak legitimasi kepemimpinan.
Pergerakan rakyat yang terjadi akhir-akhir ini, mendatangi dan menjarah rumah-rumah wakil rakyat dan pejabat publik lebih disebabkan karena faktor etika pejabat publik yang menyakiti perasaan rakyatnya, bukan karena faktor korupsi uang rakyat atau faktor hukum.
“Korupsi itu tidak selalu bermula dari uang; sering kali ia bermula dari pengkhianatan terhadap amanah,” tegas Ustadz Endin Kholidin, aktivis keagamaan dan tokoh FPI Kabupaten Kuningan.
Menurut Ustadz Endin, korupsi pada hakikatnya adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya atau bertindak di luar batasan yang ditentukan. “Maknanya luas: korupsi uang, korupsi waktu, korupsi jabatan, dan korupsi etika. Yang terakhir ini sering tak kasat mata, tetapi dampaknya jauh,“ ujarnya.
Ia menekankan, korupsi etika terjadi ketika pejabat publik menyalahgunakan wewenang, melanggar komitmen dan kepantasan, atau memanipulasi simbol-simbol moral untuk kepentingan sempit. “Etika adalah pagar pertama sebelum hukum. Ketika pagar ini roboh, pelanggaran lain tinggal menunggu giliran,” lanjutnya.
Menurut Ustadz Endin, setidaknya ada lima praktik korupsi etika yang kerap muncul di tingkat lokal maupun nasional yang kelima pola ini saling berkelindan.
Pertama, penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi/keluarga. “Bentuknya bisa seperti memfasilitasi proyek bagi kroni, akses istimewa bagi jaringan dekat, atau keputusan publik yang bias kepentingan. Walau sulit dibuktikan pidananya, secara etika ini pengkhianatan terhadap amanah,” kata Ustadz Endin.
Kedua, korupsi waktu dan tanggung jawab jabatan. “Seperti bolos rapat, rendahnya serap aspirasi, prioritas kerja yang menyimpang dari mandat. Gaji dibayar dari uang rakyat, tetapi kewajiban diabaikan. Itu merampas hak publik,” ujarnya.