Oleh: H. Tubagus Raditya Indrajaya (Kang Didit)
Sedikit Drama, Banyak Makna
Sri Mulyani lengser. Bukan karena tersandung korupsi, bukan karena gagal menjaga fiskal, apalagi bukan karena bocor APBN—tapi justru karena terlalu disiplin, terlalu IMF, terlalu World Bank. Dan mungkin, terlalu Amerika.
Bersamaan dengan itu, Prabowo pulang dari Beijing dengan senyum tipis dan dada tegap. Ia tak banyak bicara. Tapi seperti harimau tua yang kembali dari rimba raksasa Tiongkok dan hutan salju Rusia, Prabowo membawa lebih dari sekadar oleh-oleh diplomatik. Ia membawa sinyal pergeseran poros dunia.
Babak Baru: Indonesia Tak Lagi di Samping Meja, Tapi Di Tengah Meja
Selama ini, posisi Indonesia dalam ekonomi global mirip tamu VIP dalam pesta IMF—dihargai, dipuji, tapi tetap disuruh cuci piring. Sri Mulyani adalah duta besar kebanggaan pesta itu. Dengan jargon defisit 3%, tax ratio, dan “confidence investor”, beliau menjaga citra kita di mata Barat.
Tapi pesta itu sekarang sepi. Dunia berubah. Amerika sedang demam utang, Eropa terengah-engah, dan IMF kehilangan pamor di negara-negara Selatan. Di sisi lain, BRICS+ tumbuh dengan percaya diri. Yuan, rubel, rupee, bahkan real Brazil, mulai berbicara dengan bahasa baru: kolaborasi tanpa kolonialisasi.
Prabowo melihat itu. Dan ia memilih.
Pemecatan Bernuansa Geopolitik
Tak ada penguasa yang mengganti menteri seberat Sri Mulyani tanpa alasan besar. Publik hanya melihat reshuffle. Tapi orang dalam tahu: ini adalah “reset fiskal”. Dan itu butuh backup strategis dari dua raksasa dunia—China dan Rusia.
Dalam pertemuan dengan Xi Jinping dan Vladimir Putin, bisa jadi Prabowo memberi isyarat:
“Saya ingin mengubah cara kami mengelola ekonomi. Kami akan lebih berani membelanjakan uang untuk rakyat. Kami tak bisa terus dikekang aturan Washington. Apakah Anda akan mendukung saya?”
Dan jawaban mereka mungkin sederhana:
“Silakan. Kami siap bantu. Tapi keluarkan dulu ‘penjaga gerbang IMF’ itu.”
Momen Kudeta Ekonomi
Pemecatan Sri Mulyani bukan soal pribadi. Ini adalah tanda pergeseran ideologi ekonomi Indonesia:
Dari austerity ke sovereign spending,
Dari defisit ketat ke investasi masif,
Dari Barat ke Timur.
Dan kita akan menyaksikan:
Target pertumbuhan 8% bukan lagi slogan.
Kredit murah dari China mengalir deras untuk pangan, energi, dan industri.
Oligarki baru mungkin lahir—tapi kali ini bukan dari Harvard Club, melainkan dari sekolah kader Beijing dan pabrik baja Vladivostok.
Yang Pergi Bukan Musuh, Yang Datang Bukan Malaikat
Kita tidak sedang membenci Sri Mulyani. Kita hanya sedang membaca perubahan zaman. Siapa pun yang mengerti sejarah tahu: ada masanya ekonom seperti Soemitro Djojohadikusumo (ayah Prabowo) memikirkan hal serupa: kemandirian.
Kini sejarah berputar. Prabowo seperti ingin menuntaskan ide lama itu—bukan dengan teori semata, tapi dengan tindakan konkret.
Dan tindakan pertama itu: mencopot simbol rezim fiskal lama.
Sri Mulyani, pamit.
🧩 Epilog
Selamat datang di Indonesia versi 2025.
Tempat di mana geopolitik menentukan fiskal,
dan pertemuan bilateral bisa mengganti Menteri Keuangan.
Kita ucapkan salam hormat untuk Bu Ani,
dan sekaligus:
Selamat datang “Soemitronomic”