Menurut , Uung jika di Perda mengatur kewenangan sampai tingkat kalurahan dalam menangani kerukunan. Nantinya di Perwal harus mengatur fungsi RW dan RT dalam keberagaman kehidupan bermasyarakat.
“RT dan RW berhadapan langsung dengan masyarakat, sayang sekali kalau tidak dilibatkan,” ujar Uung.
Menurutnya, di Kota Bandung letupan terkait SARA terjadi karena kurang komunikasi. Biasanya letupan ini soal ibadah, untul kesukuan jarang terjadi.
“Yang trend itu permasalahan rumah ibadah, masyarakat mungkin belum tahu cara pendiriannya, karena kalau kita lihat kota dan kabupaten lain berkomunikasi dengan baik,” ungkapnya.
Uung mengakui di raperda ini tidak dibahas soal perizinan atau cara pendirian rumah ibadat. “Ini soal keragamanan secara global, seperti saling menghargai, toleransi, dan lainnya,” tuturnya.
Namun ia sangat menyayangkan tidak ada klausul sanksi dalam raperda tersebut. Dalam raperda ini hanya disebutkan bila setiap orang atau organisasi atau badan hukum dilarang melakukan tindakan intoleransi dan diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Tindakan intoleransi dan diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat diselesaikan secara musyawarah diawali di tingkat kelurahan atau kecamatan.
“Tidak ada sanksi, harus musyawarah dulu. Kalau misalnya terjadi pelanggaran pidana diarahkan pada pihak aparat penegak hukum, tapi ditekankan musywwarah dulu,” jelasnya.
Raperda ini, menurut Uung, hanya memiliki 10 bab dan 24 pasal. Diharapkan dengan kehadiran perda ini nantinya masyarakat bersatu dan memiliki toleransi tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.***