Kebutuhan – terasjabar.id https://terasjabar.id dari Jawa Barat untuk Indonesia Sun, 19 Oct 2025 11:00:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.3 https://terasjabar.id/wp-content/uploads/2025/03/cropped-teras-jabar-icon-v2-32x32.png Kebutuhan – terasjabar.id https://terasjabar.id 32 32 239513545 Whoosh vs Shinkansen! Antara Kebutuhan dan Pencitraan https://terasjabar.id/whoosh-vs-shinkansen-antara-kebutuhan-dan-pencitraan/ https://terasjabar.id/whoosh-vs-shinkansen-antara-kebutuhan-dan-pencitraan/#respond Sun, 19 Oct 2025 11:00:31 +0000 https://terasjabar.id/?p=36709 TERASJABAR.ID – Kereta cepat Jakarta-Bandung kini jadi sorotan. Bukan hal kecepatannya yang disoal. Tapi perkara utangnya yang diperkarakan.

Soal utang itu, negara sudah jelas lepas tangan. Melaui Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, pemerintah menolak membayar utang kereta cepat itu dari APBN.

Sejalan dengan Menkeu Purbaya, anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati tegas menolak pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh dibebankan pada APBN.

“Tidak tepat jika APBN yang harus menanggung, kondisi itu justru memperberat kondisi keuangan negara yang sudah dalam keadaan terbatas. Permasalahan proyek infrastruktur KCJB muncul sejak awal, seperti tidak masuknya proyek ini dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2030, bahkan Menhub (Ignatius Jonan) saat itu tidak menyetujui proyek Whoosh dengan alasan bakalan tidak bisa dibayar,” demikian disampaikan aggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati pada Kamis, 16 Oktober 2025.

Pembangunan infrastruktur transportasi berkecepatan tinggi acap kali dianggap sebagai simbol kemajuan.

BACA JUGA: Kereta Cepat, BEP Letoy! Faisal Basri: Sampai Kiamat pun Tak Akan Balik Modal

Jepang telah membuktikan hal itu melalui Shinkansen yang menghubungkan Tokyo dan Osaka sejak 1964.

Sementara Indonesia baru memulainya lewat proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.

Namun, di balik kesamaan wujudnya sebagai kereta super kencang, kedua proyek ini sesungguhnya merepresentasikan dua filosofi pembangunan yang sangat berbeda; efisiensi berbasis kebutuhan dan ambisi berbasis pencitraan.

Efisiensi dan Kelayakan di Balik Shinkansen

Shinkansen dibangun dalam konteks kebutuhan ekonomi dan sosial yang jelas. Pada awal 1960-an, jalur padat antara Tokyo dan Osaka menjadi urat nadi industri Jepang yang sedang bertumbuh pesat.

Permintaan transportasi antarwilayah meningkat drastis, sementara kapasitas kereta konvensional sudah tidak mampu menampung volume perjalanan bisnis dan logistik.

BACA JUGA: Bengkak Utang Kereta Cepat, Siapa Bertanggung Jawab?

Dari kebutuhan nyata itulah Tokaido Shinkansen lahir, –bukan sekadar proyek prestise– melainkan solusi terhadap permasalahan produktivitas nasional.

Hasilnya nyata! Perjalanan sejauh lebih dari 500 kilometer dapat ditempuh hanya dalam 2–3 jam, dengan tingkat ketepatan waktu yang mendekati sempurna (keterlambatan rata-rata di bawah satu menit per tahun).

Volume penumpang pun stabil, melayani lebih dari 160 juta orang per tahun, menjadikannya moda transportasi vital yang secara finansial berkelanjutan tanpa subsidi besar dari negara.

Ambisi dan Tantangan di Balik KCJB

Berbeda dengan Jepang, proyek KCJB sepanjang 142 kilometer menghadapi tantangan justifikasi ekonomi sejak awal. Banyak kalangan proyek itu tidak visible.

Terlalu mahal dan break event pointnya sangat lama. Bahkan ekonomor senior, (Alm) Faisal Basri, dengan sedikit guyonan menyebut; “Sampai Kiamat pun Tak Akan Balik Modal”.

Dengan waktu tempuh sekitar 36 menit antara Jakarta dan Bandung, efisiensi waktu yang ditawarkan relatif kecil dibandingkan jarak yang pendek dan alternatif transportasi lain seperti tol Cipularang atau kereta Argo Parahyangan.

Selain itu, biaya proyek yang membengkak hingga lebih dari Rp130 triliun menimbulkan pertanyaan besar soal kelayakan finansial dan beban terhadap APBN.

Kapasitas penumpang juga terbatas, dan hingga kini belum ada data yang menunjukkan bahwa tingkat okupansinya mampu menutupi biaya operasional secara mandiri.

Perbedaan mendasar antara Shinkansen dan KCJB terletak pada rationale kebijakan publiknya.

Jepang membangun infrastruktur berdasarkan analisis kebutuhan ekonomi jangka panjang, sementara Indonesia cenderung menempatkan proyek ini sebagai simbol kemajuan politik dan diplomatik, terutama dalam konteks kerja sama dengan China.

Pelajaran dari Jepang untuk Indonesia

Shinkansen bukan sekadar kereta cepat. Ia adalah hasil dari perencanaan matang, manajemen teknologi yang disiplin, dan integrasi transportasi antarwilayah yang kuat.

Keberhasilan Jepang tidak datang dari kecepatan semata, tetapi dari keberlanjutan dan orientasi publik yang jelas.

Indonesia bisa belajar bahwa proyek transportasi besar seharusnya berangkat dari evidence-based policy, bukan sekadar ambisi politik jangka pendek.

Pembangunan infrastruktur memang penting, namun tanpa riset mendalam mengenai kebutuhan, prospek ekonomi, dan daya dukung fiskal, proyek besar justru berisiko menjadi beban, bukan aset.

Shinkansen adalah simbol efisiensi dan rasionalitas ekonomi.

KCJB, sebaliknya, masih menjadi simbol eksperimen kebijakan yang sarat kepentingan dan belum terbukti kelayakannya.

Bukan kecepatan yang menentukan kemajuan suatu bangsa, melainkan kemampuan merencanakan dengan cerdas, menimbang manfaat publik, dan memastikan bahwa setiap kilometer rel yang dibangun benar-benar membawa masyarakat menuju kemajuan, bukan sekadar menuju kesan modernitas.-***

]]>
https://terasjabar.id/whoosh-vs-shinkansen-antara-kebutuhan-dan-pencitraan/feed/ 0 36709