Tantangan dan Refleksi
Syukur sejati menuntut keberanian untuk menahan diri dari sikap konsumtif dan kompetitif yang kerap dipicu media sosial. Alih-alih terjebak pada budaya membandingkan hidup dengan orang lain, syukur mengajarkan kita untuk menghargai yang sudah ada, lalu menggunakannya untuk memberi manfaat. Dengan demikian, syukur melahirkan stabilitas batin, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, dan semangat untuk berkontribusi.
Di era digital, syukur bisa diwujudkan dengan cara sederhana: tidak menyebarkan hoaks, tidak meninggalkan komentar penuh kebencian, dan menggunakan ruang maya untuk menebar ilmu atau inspirasi. Itu semua bagian dari syukur, karena nikmat teknologi tidak berhenti pada kesenangan pribadi, melainkan diarahkan untuk kebaikan bersama.
Menjadi Hujan di Ruang Digital
Jika hujan memberi kehidupan tanpa pilih kasih, maka demikian pula manusia yang bersyukur. Ia hadir bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk semesta. Di grup WhatsApp keluarga, ia memilih menenangkan alih-alih memprovokasi. Di lini masa media sosial, ia menulis yang mencerahkan, bukan yang menebar kebencian. Ia sadar bahwa setiap kalimat, setiap unggahan, adalah bentuk pertanggungjawaban. Karena itu, ia menakar kata-katanya dengan hati, lalu menyalurkannya dengan niat memberi kehidupan.
Pada akhirnya, syukur bukanlah soal ucapan, melainkan soal keberanian menjadi hujan—turun dengan tulus, memberi dengan ikhlas, dan membiarkan kebaikan tumbuh di tanah mana pun yang disentuh.***