Oleh : Subchan Daragana
Warga Bandung/ Magister Komunikasi UBakrie
Hujan tak pernah bertanya, siapa yang layak menerima tetesnya. Kebaikan sejati tak memilih tempat jatuhnya. Seperti hujan yang turun tanpa hitung-hitungan—di tanah subur maupun gersang, di sawah hijau maupun jalan berdebu. Tugasnya hanya satu: memberi kehidupan. Maka berbuatlah tanpa pamrih, tanpa pilih kasih, tanpa syarat. Sebab kebaikan bukan tentang siapa yang menerima, tetapi tentang siapa dirimu ketika melakukannya.
Tulisan sederhana ini membawa kita pada sebuah renungan mendalam tentang makna syukur. Di tengah derasnya arus informasi dan hiruk-pikuk era digital, syukur seakan direduksi menjadi ucapan di status media sosial, sekadar caption pendek atau emotikon tangan terkatup. Padahal, dalam hakikatnya, syukur bukan sekadar kata, melainkan kesadaran yang menghadirkan perubahan sikap dan perbuatan.
Syukur Personal dan Syukur Sosial
Syukur sering dimaknai sebatas perasaan batin: berterima kasih atas nikmat yang kita miliki, dari kesehatan, keluarga, hingga rezeki. Namun, jika syukur hanya berhenti pada rasa, ia menjadi statis. Para ulama menekankan tiga dimensi syukur: hati yang mengakui nikmat, lisan yang memuji pemberi nikmat, dan perbuatan yang menggunakan nikmat untuk kebaikan. Inilah yang kita sebut syukur sosial—ketika nikmat yang kita rasakan tidak hanya menenangkan diri sendiri, tetapi juga menghadirkan manfaat bagi orang lain.