“Bandung, Tempat Cerita Bertemu”
(Dari Kota Destinasi Menuju Kota Pengalaman dan Cerita)
Yth
Bapak Wali Kota Bandung,
Perkenankan saya menulis surat terbuka ini sebagai bentuk cinta pada kota yang kita rawat bersama. Bandung bukan sekadar tempat tinggal atau tujuan wisata, melainkan ruang hidup yang menyimpan sejarah, identitas, dan harapan masa depan.
Hari ini, Bandung adalah kota yang ramai dikunjungi. Setiap akhir pekan, arus wisata mengalir deras, ekonomi bergerak, dan kota terasa hidup. Namun di balik itu, kita juga menyaksikan tantangan yang terus berulang, kemacetan, sampah, kepadatan ruang, serta pengalaman wisata yang sering kali singkat dan dangkal. Kota dikunjungi, tetapi belum tentu dialami.
Padahal, Bandung memiliki kekayaan yang tidak dimiliki banyak kota di dunia. Lebih dari 1.700 lebih bangunan cagar budaya berdiri di kota ini menjadikan Bandung salah satu kota dengan konsentrasi heritage tertinggi secara global. Namun, banyak dari bangunan itu hadir sebagai latar visual semata, belum sepenuhnya sebagai cerita yang hidup di benak warga dan wisatawan.
Bapak Wali Kota yang saya hormati,
Izinkan saya mengajak kita bersama memikirkan satu pergeseran cara pandang, dari Bandung sebagai kota destinasi, menuju Bandung sebagai kota pengalaman dan cerita.
Pariwisata hari ini tidak lagi bertumpu pada jumlah tempat atau viralitas konten. Kota-kota dunia yang berhasil justru membangun pariwisatanya melalui narasi, melalui cerita yang menghubungkan ruang, sejarah, dan manusia. Kyoto, Barcelona, hingga Melbourne, tidak menjual tempat, tetapi menjual makna.
Bandung sesungguhnya sangat siap untuk itu.
Bayangkan jika berjalan di Braga bukan sekadar berfoto, tetapi menyusuri kisah Bandung sebagai kota modern pertama di Nusantara.
Bayangkan Asia Afrika tidak hanya diperingati setahun sekali, tetapi menjadi cerita harian tentang posisi Bandung dalam sejarah dunia.
Bayangkan wisatawan pulang tidak hanya membawa foto, tetapi membawa pemahaman dan ikatan emosional dengan kota ini.
Salah satu ikhtiar yang dapat dipertimbangkan adalah membangun “Storytelling Corridor” Bandung, bukan sebagai proyek fisik besar, melainkan sebagai pendekatan naratif yang menghubungkan kawasan wisata melalui cerita. Destinasi tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bab dalam satu buku besar bernama Bandung.
Event kota pun dapat diposisikan sebagai bab cerita, bukan sekadar keramaian sesaat. Setiap festival, peringatan, dan agenda budaya menjadi momentum memperkuat identitas kota, bukan hanya mengundang kerumunan.
Namun semua itu tidak akan hidup tanpa manusia. Karena itu, penguatan SDM pariwisata berbasis literasi budaya dan storytelling menjadi kunci. Pemandu, pelaku UMKM, pengelola kawasan, hingga warga lokal perlu diposisikan sebagai penjaga cerita kota, orang-orang yang bukan hanya melayani, tetapi mampu menjelaskan makna.
Bapak Wali Kota,
Surat ini tidak dimaksudkan sebagai kritik, melainkan sebagai ajakan berpikir bersama. Bandung telah melangkah jauh sebagai kota kreatif. Kini, mungkin sudah saatnya Bandung menegaskan dirinya sebagai kota yang tidak hanya ramai, tetapi bermakna;, idak hanya dikunjungi, tetapi dikenang.
Sebagai warga kota, akademisi, dan bagian dari ekosistem pariwisata Bandung, saya meyakini bahwa dengan kepemimpinan Bapak, pergeseran ini bukan hal yang mustahil.
Dari viral menuju bermakna.
Dari destinasi menuju pengalaman.
Dari tempat singgah menuju cerita yang tinggal lama di ingatan.
Terima kasih atas dedikasi dan kepemimpinan Bapak dalam merawat Bandung. Semoga surat terbuka ini dapat menjadi bagian kecil dari ikhtiar besar kita bersama untuk menjaga Bandung tetap hidup, beridentitas, dan berkelanjutan.
Hormat saya,
Subchan Daragana
Akademisi & Anggota Bandung Tourism Board,
Warga Kota Bandung

















