Oleh: TB Raditya Indrajaya (Pemerhati Ekonomi dan Kebijakan Publik)
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”
Ada surat yang ditulis dengan tinta air mata dan ditutup dengan darah yang kering di pelupuk jiwa. Surat dari seorang ibu yang terlalu letih, terlalu lelah, hingga kata terakhirnya menusuk seperti sembilu:
“Mamah leuwih rido ka neraka daripada ningal Aa jeung Dede sangsara”
Api yang Kita Biarkan Menyala
Saya merenung, betapa getirnya kalimat itu. Neraka yang selalu kita bayangkan di akhirat, ternyata bagi seorang ibu lebih terasa ringan dibandingkan neraka dunia: penagih utang yang mengetuk pintu setiap hari, rasa malu di hadapan tetangga, dan beban hidup yang tak sanggup lagi ia tanggung.
Kita semua sibuk menjadi hakim. Ada yang berkata: “Ah, imannya lemah.” Ada yang menghardik: “Kenapa harus bawa anak?” Ada pula yang berkomentar dengan enteng: “Begitulah kalau hidup tak pandai mengatur.”
Tapi jarang ada yang jujur bertanya: “Apa saya pernah mengetuk pintu tetangga, bukan untuk menagih, tapi sekadar menanyakan kabar?”
Kita lupa, terkadang neraka bukanlah api di akhirat. Neraka sudah kita ciptakan di sini, di bumi. Neraka yang menyala dari hutang yang tak tertanggung, dari ego yang tak terkendali, dari sistem sosial yang lebih sibuk menghitung angka ketimbang mendengar jeritan manusia.
Kasih Ibu yang Menjadi Pisau
Sufisme mengajarkan: Kasih ibu adalah jendela kasih Tuhan. Tapi di surat itu, jendela kasih berubah jadi dinding gelap. Cinta yang mestinya menjadi samudra penyejuk, berubah jadi pisau yang ia arahkan ke anak-anaknya, lalu ke dirinya sendiri.
Saya melihat di sana bukan ibu yang jahat, tapi jiwa yang kalah. Jiwa yang ditindih depresi, hingga cahaya logika padam, tinggal api putus asa yang membakar.
Bukankah kita sering berkata: “Allah tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan”?
Tapi kita lupa, manusia bisa runtuh sebelum sampai di batas itu. Dan ketika ia runtuh, kita semua hanya sibuk menuding: “Kurang iman.”
Sindiran untuk Kita Semua
Untuk para suami: Setiap utang yang kau sembunyikan adalah bara neraka di bawah bantal anak-anakmu. Jangan kira tanggung jawab hanya berhenti di meja makan. Transparansi bukan pilihan, tapi harga diri.