Kondisi kemarau basah ini telah dirasakan di berbagai wilayah, seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah, yang mengalami hujan ringan hingga lebat sepanjang Mei 2025. Fenomena ini berbeda dengan musim kemarau kering yang biasanya ditandai dengan minimnya curah hujan. Menurut BMKG, hujan yang terjadi selama kemarau basah ini dapat memberikan manfaat, seperti menjaga ketersediaan air untuk irigasi pertanian, namun juga berpotensi menimbulkan banjir atau longsor di daerah rawan.
BMKG memprediksi bahwa fenomena kemarau basah akan berlangsung hingga akhir Agustus 2025, dengan intensitas yang bervariasi di setiap wilayah. Musim hujan secara resmi diperkirakan baru akan dimulai pada Desember 2025 dan berlangsung hingga Februari 2026. BMKG juga mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem, seperti hujan lebat disertai petir dan angin kencang, yang dapat terjadi meski dalam periode kemarau.
Implikasi Perubahan Iklim
Peningkatan suhu permukaan laut yang dipicu pemanasan global menjadi salah satu faktor kunci di balik kemarau basah ini. Data BMKG menunjukkan bahwa suhu permukaan laut di perairan Indonesia telah meningkat rata-rata 0,5–0,8 derajat Celsius dalam dua dekade terakhir, mempercepat penguapan dan pembentukan awan hujan. Kondisi ini menegaskan dampak perubahan iklim yang kian nyata di Indonesia, yang tidak hanya memengaruhi pola cuaca, tetapi juga sektor pertanian, infrastruktur, dan kesiapsiagaan bencana.
“Perubahan iklim membuat pola cuaca semakin sulit diprediksi. Kami terus memantau dinamika atmosfer untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat,” kata Guswanto.