Pemerintah hanya mengakomodasi desakan itu, dan perangkat-perangkat hukumnya pun dengan sigap mengerjakan proses logis untuk dengan cepat menghukum yang dianggap bersalah.
Peristiwa itu sedikit-banyak kemudian membuat semua media cenderung bersikap “self-censorship” jika tidak ingin bernasib seperti Monitor, dan akhirnya sikap sensor-diri juga diterapkan untuk isu-isu lain, bukan hanya untuk isu rawan yang bersentuhan dengan emosi umat Islam.
Solahudin ada di tengah kehebohan yang berlangsung berbulan-bulan itu, mengikuti arus peristiwanya dari hari ke hari, dan dengan itu mengembangkan kesadaran dan gairahnya terhadap isu-isu serupa.
Selepas dari majalah Ummat yang berhenti terbit karena terpukul oleh krisis moneter (1999), ia mulai aktif di Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pimpinan Sidney Jones, seorang peneliti tekun dari Amerika. Tapi Solah tak pernah meninggalkan kewartawanannya. Kawan-kawannya di Asosiasi Jurnalis Independen percaya pada integritas dan ketangguhan jurnalistiknya, dan memilihnya sebagai sekretaris jenderal.
Di IPAC ia bukan hanya mendapatkan pengalaman akademis baru berkat pergaulan dan kolaborasi intensif dengan para peneliti tangguh, yang mengajarinya metodologi riset yang lebih lengkap dan cermat daripada jurnalisme mingguan atau harian.
Pekerjaan itu juga pelan-pelan menumbuhkan wawasan dan pemahaman baru tentang kompleksitas masalah; tampaknya juga membuatnya bergeser halus dari posisi ideologis sebagai demonstran Monitor.
Solah yang tambun dan memasang senyum konstan di wajahnya yang bersahabat, menjadi elemen instrumental dalam kerja-kerja lapangan yang sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil riset IPAC, atau lembaga mana pun yang memerlukan bahan serupa, yang berintegritas dan dapat dipertanggungjawabkan metodologi dan akurasinya.
Ia, yang kini justeru lebih lincah, sanggup blusukan ke pusat-pusat komando kalangan radikal yang gemar mengagendakan aksi-aksi teroristik. Para peneliti asing yang dibantunya, apalagi perempuan Amerika seperti Sidney Jones, tidak mungkin mampu menembus tembok kecurigaan para radikalis itu, selain ada kekuatiran tentang keselamatan diri mereka sendiri. Di sini posisi dan kontribusi Solah tak tergantikan.
Ia sangat produktif dalam menghasilkan bahan-bahan pokok penelitian, yang kemudian dikemas dengan baik dan tajam oleh Jones untuk digemakan ke seluruh dunia, terutama untuk para penentu kebijakan di negerinya sendiri, agar mereka sedikit lebih memahami situasi dan mengambil kebijakan yang tepat.
Di lapangan, bakat alaminya sebagai penyelidik yang ramah dan tak mengancam semakin mekar, membuatnya kian mudah menembus sumber-sumber eksklusif dan “berbahaya”, bahkan menjalin hubungan personal dengan tokoh-tokoh penting dalam gerakan-gerakan revolusioner itu.
Mereka menaruh kepercayaan tinggi pada Solah yang, dengan cara instingtifnya sendiri, berhasil membuat mereka percaya bahwa ia bijaksana dan ia juga mampu melihat persoalan dari sudut-pandang mereka.
Resep-resep kunci sukses seorang peneliti seperti ini tampaknya ia hayati begitu saja secara alami, tanpa perlu banyak berlatih dengan macam-macam teori — dan dengan demikian tak mudah ditiru oleh peneliti lain.
“Sola” Solahudin kemudian semakin jauh terseret ke wilayah akademis, yang batasnya memang semakin tipis dengan jurnalisme — kerja lapangan keduanya identik. Ia hanya perlu mempertajam pemahaman dan wawasan dengan bantuan aneka perangkat teori ilmu-ilmu sosial seperti yang lazim diterapkan oleh para periset sosial profesional.
Ia makin memantapkan diri sebagai otoritas yang disegani di area studi yang memang menjadi gairah terbesarnya sejak usia muda — meski ia tak pernah menuntaskan kuliah di universitas mana pun. Tapi ia bukan jenis yang gampang tergoda oleh popularitas dan hasrat menonjolkan diri. Publik luas jarang yang mengetahui otoritas akademisnya ini.
Hanya rekan sesama peneliti atau aktivis yang meminati isu serupa (atau juga kalangan aparat keamanan) yang mengerti luas dan dalamnya pemahamannya atas isu ini. Jika mereka tak mengerti terhadap mata rantai yang hilang dalam suatu peristiwa atau gejala, misalnya, mereka tahu Solah adalah sumber tepercaya yang harus dihubungi.
Meskipun ia tak selalu mampu memberi jawaban langsung, tapi penyajiannya tentang latar-belakang yang luas atas peristiwa yang ditanyakan, membuat si penanya mampu menarik kesimpulan yang kurang-lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pada Juni tahun lalu, misalnya, ketika beredar gosip bahwa kelompok Jamaah Islamiyah membubarkan diri, tak sedikit yang curiga bahwa kabar itu bagian dari siasat JI, taktik kelompok itu agar aparat keamanan lengah dari mengawasi mereka.
Solah, yang berteman dengan sejumlah pentolan JI (ia juga sudah menulis buku khusus tentang mereka), kemudian memastikan kebenaran kabar itu. Konfirmasi Solah seakan menjadi fatwa final yang membuat yakin mereka yang ragu.
Bobot tubuhnya terlihat jauh berkurang daripada di masa kami setiap hari berjumpa dulu. Tapi senyum lebarnya masih sama: terlihat riang dan menyenangkan. Matanya yang besar juga tetap selalu terbuka lebar — terasa ramah dan tak mengancam, membuat lawan bicaranya tak punya alasan apapun untuk cepat-cepat menjauhinya.
Kematangannya sebagai peneliti sosial yang disegani, yang membuat saya gembira dan ikut bangga, tak mengubah dandanan dan perangkat bawaannya: kaos oblong atau baju polo lusuh dan ransel ribet yang kumuh — sejak dulu ia memang tak pernah silau pada kemahalan penampilan.











