Mengapa Kiai Noer yang alergi terhadap wartawan bersedia melayani Solah? Rupanya Solah berhasil meyakinkannya bahwa Ummat akan memberinya ruang leluasa untuk menceritakan kasusnya, sepenuhnya dari sudut-pandang dia; dan bahwa penjelasan semacam itu penting untuk memulihkan reputasinya yang tiap hari digerogoti opini publik.
Tentu saja Kiai Noer pun membutuhkan kesempatan itu, dan rupanya ia merasa bahu Solah adalah pundak yang tepat untuk bersandar. Maka jadilah wawancara khusus itu (biasanya dijual sebagai “wawancara eksklusif”), dan selebihnya adalah sejarah.
Lima puluh ribu eksemplar edisi majalah mingguan bersampul “KH Noer Iskandar, SQ: Saya Sedang Dijewer Tuhan” itu langsung habis ditelan pasar, dan segera dicetak ulang. Kami semua tahu siapa pahlawan di balik sukses besar itu. Tanpa wawancara Solah, cerita tentang heboh nikah semalam Kiai Noer tidak akan istimewa dibanding liputan semua media waktu itu.
Ummat adalah majalah baru (1995-99) dan menjadi tempat Solah memulai kerja profesionalnya. Ia meminati isu politik Islam sejak remaja. Ia, sebagai mahasiswa tahun pertama ITB, ikut dalam rombongan beberapa bis dari Bandung, kota kelahirannya, yang berkonvoi ke Jakarta khusus untuk berdemonstrasi mengutuk Arswendo Atmowiloto dan Monitor, tabloid yang dipimpinnya, 1989.
Dipimpin antara lain oleh Jalaluddin Rakhmat, rombongan demonstran Bandung melengkapi berpuluh-puluh kelompok dan para intelektual Islam yang sangat marah pada apa yang mereka pandang sebagai kekurangajaran yang keterlaluan yang dilakukan Arswendo dan tabloid Monitor, yang sukses dalam waktu singkat dan menembus tiras satu juta eksemplar tiap terbit.
Tabloid hiburan pop itu, anak usaha grup Kompas, yang bekerja dengan kredo “jurnalisme lher” ciptaan Arswendo (suatu penamaan yang berkonotasi pornografis), mengadakan jajak pendapat di kalangan pembacanya tentang tokoh idola. Hasilnya adalah malapetaka dan membuat seluruh spektrum kalangan Islam marah besar (dengan perkecualian istimewa: Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU).
Hasil jajak yang dimuat di Monitor itu menunjukkan figur-figur seperti Presiden Suharto dan Menteri BJ Habibie sebagai figur paling populer, selain tokoh-tokoh internasional seperti Nelson Mandela, Presiden Gorbachev dan Bunda Theresa. Tiada alasan apapun untuk keberatan terhadap semua temuan ini.
Titik ledak muncul di urutan berikutnya: di peringkat 10 tertulis nama Arswendo sendiri, dan satu tingkat di bawahnya: Nabi Muhammad SAW.
Bagi kalangan Islam, bukan hanya Nabi tak pantas diperingkat, tapi terutama: posisinya di bawah Arswendo Atmowiloto, seorang wartawan gondrong yang resminya beragama Katolik, dan memimpin media yang berafiliasi dengan grup media yang terasosiasi dengan Katolik. Demonstrasi pun berkobar mana-mana.
Para tokoh Islam bersuara keras. Dr. Nurcholish Madjid yang biasa beropini cermat dan berkata santun, misalnya, mendesak pemerintah supaya membredel Monitor, dan meminta untuk “melarang (Monitor) terbit untuk selama-lamanya.”
Bagi Cak Nur, perbuatan Arswendo dan Monitor “seperti menarik karpet dari kaki meja.” Semuanya jadi terjungkal dan berantakan. Ia amat menyayangkan mengapa hubungan Islam-Katolik yang sudah sangat baik, harus dirusak dengan cara seperti itu. Monitor kemudian kontan stop terbit — juga atas “kesadaran” penerbitnya — dan Arswendo divonis beberapa tahun penjara karena “penistaan agama.”
Bagi pemerintah Orde Baru, yang selalu gatal untuk meredam kebebasan pers, kasus Monitor adalah durian runtuh. Bukan pemerintah yang bernisiatif membredelnya, tapi desakan kencang dari mayoritas besar masyarakat sendiri.











