Oleh Hamid Basyaib (Jurnalis, anggota Hati Pena)
MALAM itu saya gelisah, dan mondar-mandir antara ruang direksi dan ruang desain majalah Ummat. Desainer sampul Gus Ballon tak henti merokok untuk menahan kantuk karena menunggu judul apa yang harus ditulis.
Semuanya sudah ia siapkan — terutama foto wajah close up Noer Iskandar, seorang kiai sebuah pesantren di Jakarta Barat yang sedang menjadi bahan gunjingan nasional, karena “menikah satu malam” di sebuah kamar hotel dengan Dewi Wardah, janda Amir Biki, pemimpin warga yang tertembak mati dalam drama besar “Peristiwa Tanjung Priok” (1984).
Di ruang direksi, Solahudin sedang mewawancarai Kiai Noer via telepon dengan gaya yang sangat bersahabat. Beberapa kali saya coba ikut memahami arah percakapan berdasarkan pertanyaan dan respon Solahudin, tapi segera keluar setelah beberapa menit belum juga menangkap sesuatu yang menarik.
Sampai pada satu titik ia bertanya retoris, tetap dengan tak terkesan mengusut: “Oh, jadi Pak Kiai merasa sedang dijewer Tuhan, ya?”
Menjelang tengah malam itu saya segera bergegas ke ruang desain, dan berteriak: “Gus, tulis judulnya: Saya Sedang Dijewer Tuhan!”
Beberapa menit kemudian seluruh file yang tersisa, terutama sampul depan — yang harus dikerjakan lebih lama karena dicetak empat warna — dilarikan ke percetakan. Saya lega dan kembali dengan rileks menguping wawancara Solahudin, dan siap mengedit hasil wawancara itu yang akan ditampilkan verbatim — teks bisa menyusul, yang penting sampul sudah aman, dan majalah tidak akan terlambat terbit.
Solah (“Sola”, dalam panggilan para peneliti asing relasinya), memang selalu kami andalkan untuk memburu narasumber sulit. Dan, ajaib, ia selalu berhasil dengan gemilang. Kiai Noer adalah salah satu prestasinya yang kuat. Waktu itu kiai yang terus terpojok oleh opini publik itu selalu menghindari kejaran wartawan.
Ia, seperti lazim terjadi pada orang berposisi serupa, merasa serba salah. Pernyataan-pernyataannya untuk mengklarifikasi kasusnya yang menghebohkan itu, menurut dia, selalu “dipelintir”, dan membuat reputasinya semakin dirugikan. Kasusnya sendiri kemudian meluas, diulas dari berbagai aspek, terutama kaidah fikih.
Noer berdalih: “menikah satu malam” dan tanpa saksi dan wali itu dibolehkan menurut mazhab Maliki, salah satu dari empat mazhab utama dalam tradisi Sunni. Para pengkritik memukulnya dengan penegasan bahwa Noer selama ini menganut mazhab Syafi’i, sesuai tradisi panjang NU, yang melarang perkawinan dengan cara seperti itu (larangan ini diakui kebenarannya oleh Noer Iskandar).
Dan seseorang tidak bisa main tukar mazhab seenaknya, hanya karena pilihan mazhab tertentu dalam suatu isu menguntungkannya, dan sebagainya, dan seterusnya. Debat fikih pun, seperti biasa, memanjang bak ketiak ular.










