(Storytelling, Heritage, dan Masa Depan Pariwisata Kota)
Oleh: Subchan Daragana
Akademisi & Anggota Bandung Tourism Board
Bandung adalah kota yang ramai diceritakan, tetapi belum tentu dipahami. Setiap akhir pekan, jutaan orang datang dan pergi, memenuhi jalan, kafe, dan ruang publik.
Media sosial dipenuhi potongan visual tentang Bandung: kopi, fesyen, kuliner, dan gaya hidup urban. Namun di balik keramaian cerita itu, muncul satu pertanyaan mendasar yang jarang diajukan secara serius, siapa sebenarnya yang bercerita tentang Bandung, dan cerita versi siapa yang sedang kita dengar?
Pariwisata pada hakikatnya adalah praktik storytelling. Setiap destinasi menawarkan narasi tentang identitas, sejarah, dan nilai yang ingin diwariskan kepada pengunjung.
Masalahnya, ketika storytelling dibiarkan tumbuh tanpa kesadaran kolektif, cerita kota mudah dikuasai oleh logika pasar, algoritma media sosial, dan kebutuhan konten instan.
Bandung, dalam konteks ini, berisiko terjebak dalam narasi yang ramai tetapi dangkal.
Selama bertahun-tahun, Bandung dikenal sebagai kota kreatif dan kota akhir pekan. Tidak ada yang keliru dengan citra tersebut. Namun ketika narasi konsumsi menjadi cerita dominan, Bandung perlahan direduksi menjadi etalase, tempat untuk berbelanja, bersantap, dan berfoto, tanpa ruang yang cukup untuk memahami kedalaman sejarah dan makna kota.
Padahal, Bandung memiliki kekayaan yang luar biasa. Lebih dari seribu bangunan heritage tersebar di berbagai sudut kota,mulai dari arsitektur art deco, kawasan kolonial, hingga situs yang merekam perjalanan sosial, budaya, dan intelektual bangsa. Jumlah ini menempatkan Bandung sebagai salah satu kota dengan konsentrasi bangunan bersejarah terbanyak di dunia. Ironisnya, kekayaan ini sering hadir secara sunyi, berdiri megah, tetapi minim narasi.
Di sinilah persoalan mendasar pariwisata Bandung hari ini, bukan kekurangan aset, melainkan kekurangan storytelling yang dirawat bersama. Banyak cerita beredar, tetapi tidak semuanya berpijak pada pemahaman sejarah dan identitas kota. Akibatnya, warisan budaya kerap diperlakukan sebagai latar visual, bukan sebagai sumber pengalaman dan pengetahuan.
Jalan Braga: Ketika Ikon Kehilangan Cerita
Salah satu contoh paling nyata dari persoalan ini adalah Jalan Braga. Bagi wisatawan, Braga dikenal sebagai ikon heritage Bandung: jalan berarsitektur kolonial, deretan kafe, dan ruang swafoto yang estetik. Ia populer, tetapi sering kali hadir tanpa konteks.
Padahal, Braga adalah arsip hidup sejarah Bandung sebagai kota modern. Di jalan ini, pernah tumbuh pusat perdagangan, seni, pergaulan intelektual, dan kehidupan kosmopolitan awal abad ke-20. Braga bukan sekadar koridor wisata, melainkan ruang di mana kota membentuk identitasnya.
Dalam praktik pariwisata hari ini, storytelling Braga sering berhenti pada estetika. Wisatawan berjalan, memotret, lalu pergi, tanpa pernah diajak memahami mengapa jalan ini penting bagi Bandung. Bangunan berdiri indah, tetapi sunyi secara makna.
Jika storytelling dikelola secara sadar, Braga dapat menjadi contoh bagaimana pariwisata heritage menghadirkan pengalaman yang lebih dalam. Setiap bangunan dapat menjadi titik cerita: tentang arsitektur art deco, perubahan fungsi ruang, dinamika sosial, hingga relasi antara kota dan ingatan kolektif.
Storytelling ini tidak harus hadir dalam bentuk tur formal semata, tetapi dapat diwujudkan melalui papan interpretatif yang komunikatif, tur tematik berbasis komunitas, audio guide digital, maupun konten media sosial yang dirancang dengan narasi berlapis.
Lebih penting lagi, storyteller utama Braga seharusnya adalah warga dan komunitas. Ketika cerita datang dari mereka yang hidup dan merawat ruang tersebut, narasi menjadi lebih otentik. Pariwisata pun bergeser dari aktivitas konsumsi ruang menjadi perjumpaan dengan sejarah dan kehidupan kota.
Storytelling sebagai Strategi Pariwisata Kota
Kasus Braga menunjukkan bahwa tantangan utama pariwisata Bandung bukan terletak pada kurangnya ikon, melainkan pada ketiadaan orkestrasi storytelling. Ruang yang sama dapat menghadirkan pengalaman dangkal atau bermakna, tergantung pada bagaimana cerita dikelola.
Sebagai anggota Bandung Tourism Board, saya meyakini bahwa peran lembaga ini bukan sekadar meningkatkan kunjungan wisatawan, tetapi menjaga arah cerita kota. Tourism board idealnya menjadi penjaga makna ruang kolaboratif yang menghubungkan pemerintah, komunitas, pelaku industri, dan akademisi dalam merumuskan storytelling Bandung yang berakar, inklusif, dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, teknologi dan konsep smart tourism seharusnya menjadi alat pendukung, bukan tujuan. Smart tourism bukan sekadar aplikasi atau promosi digital, melainkan sistem yang memungkinkan cerita kota disampaikan secara kontekstual, etis, dan partisipatif. Tanpa literasi budaya dan komunikasi, teknologi justru berisiko mempercepat banalitas cerita.
Bandung tidak kekurangan cerita. Yang kita butuhkan adalah kesepakatan tentang cerita mana yang ingin kita rawat dan wariskan. Apakah Bandung hanya ingin dikenal sebagai kota singgah, atau sebagai kota yang mengajak orang berhenti sejenak, memahami, dan menghargai jejak sejarahnya?
Pariwisata yang kuat bukanlah pariwisata yang paling ramai, melainkan yang paling bermakna. Ketika storytelling Bandung dibangun secara sadar oleh warga, komunitas, pemerintah, dan tourism board, kota ini tidak hanya akan dikunjungi, tetapi juga dipahami dan dikenang.
Dan pada akhirnya, tugas kita bersama bukan sekadar mendatangkan orang ke Bandung, melainkan memastikan bahwa setiap orang yang datang pulang membawa cerita yang bernilai tentang kota ini.***

















