Namun, apakah ini berarti setiap pengguna sosmed biasa—yang hanya scrolling, mengunggah foto, atau berkomentar—akan dikenakan pajak? Hingga saat ini, tidak ada regulasi resmi yang menyebutkan pajak langsung untuk pengguna individu. Yang lebih mungkin adalah pemerintah akan menyasar pelaku usaha atau kreator konten yang memanfaatkan sosmed untuk menghasilkan pendapatan, seperti influencer atau pedagang online. Langkah ini sejalan dengan pedoman Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) tahun 2017, yang merekomendasikan pajak berdasarkan lokasi konsumen.
Kritik ini tidak tanpa dasar. Pengalaman di Uganda, di mana pajak sosmed diterapkan pada 2018, menunjukkan dampak negatif: pendapatan pajak hanya mencapai 17% dari target, dan banyak pengguna beralih ke VPN untuk menghindari biaya, yang justru mengurangi penggunaan internet dan kebebasan berekspresi. Di Indonesia, langkah serupa bisa memicu polarisasi lebih lanjut, terutama jika dianggap sebagai upaya membungkam kritik di ranah digital.
- Benarkah untuk Pemasukan Negara?
Ya, peningkatan pemasukan negara tampaknya menjadi motif utama. Ekonomi internet Indonesia, yang diprediksi mencapai USD 130 miliar pada 2025 menurut Google, Temasek, dan Bain & Company, adalah ladang emas yang belum optimal ditarik pajak. Namun, apakah pajak sosmed akan efektif? Jika diterapkan tanpa perencanaan matang, seperti kasus Uganda, justru bisa menekan aktivitas ekonomi digital dan mengurangi pendapatan negara. - Kesimpulan
Kabar pajak sosmed bukanlah hoaks sepenuhnya, tetapi belum ada kepastian resmi bahwa pengguna biasa akan kena pajak. Pemerintah memang sedang menjajaki opsi ini sebagai bagian dari strategi perpajakan digital, dengan fokus pada pelaku usaha. Namun, reaksi publik yang penuh kecurigaan menunjukkan perlunya transparansi dan dialog. Jika tidak ditangani dengan hati-hati, kebijakan ini berpotensi memicu kontroversi besar dan bahkan menekan kebebasan berpendapat di era digital