TERASJABAR.ID – Ledakan tragis saat pemusnahan amunisi kedaluwarsa di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada Senin, 12 Mei 2025, yang menewaskan 13 orang, memunculkan pertanyaan tentang jarak lokasi peledakan dari pemukiman warga terdekat.
Insiden ini terjadi di lahan milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Garut, tepatnya di Pantai Sagara, yang diklaim jauh dari permukiman. Berikut fakta-fakta terkait jarak lokasi dan konteksnya.
Jarak Lokasi Peledakan dari Pemukiman
Camat Cibalong, Dianavia Faizal, menyatakan bahwa lokasi peledakan di Pantai Sagara berjarak sekitar 8 kilometer dari kantor kecamatan, yang menjadi acuan untuk pemukiman terdekat. Area ini berada di zona steril dekat laut, jauh dari rumah warga, dan rutin digunakan TNI untuk pemusnahan amunisi kedaluwarsa.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana menegaskan bahwa lokasi dipilih karena jaraknya yang aman dari permukiman, sehingga tidak ada kerusakan infrastruktur akibat ledakan.
Kepala Desa Karya Mukti, Asep, menyebutkan bahwa lokasi peledakan berdekatan dengan Desa Sagara, dekat Pantai Cijeruk, dan suara ledakan terdengar hingga desanya. Namun, ia tidak merinci jarak pasti, hanya menegaskan bahwa lokasi tersebut jauh dari pemukiman utama. Secara geografis, Pantai Sagara terletak di Garut Selatan dengan akses sulit, membutuhkan waktu tempuh 4-5 jam dari pusat kota Garut, yang berjarak sekitar 100 kilometer melalui jalur darat. Ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut memang terpencil dan tidak berada di area permukiman padat.
Mengapa Warga Sipil Berada di Lokasi?
Meski lokasi jauh dari pemukiman, sembilan warga sipil menjadi korban. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Kristomei Sianturi menjelaskan bahwa warga diduga mendekati lokasi setelah peledakan awal untuk mengumpulkan serpihan logam, seperti tembaga dan besi dari granat atau mortir, yang memiliki nilai jual. Kebiasaan ini tampaknya sudah berlangsung lama, mengingat peledakan dilakukan 3-4 kali setahun.
Seorang warga, Aom (46), mengungkapkan bahwa warga sipil kerap membantu menyusun amunisi kedaluwarsa untuk peledakan, meskipun peran mereka tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini memunculkan dugaan bahwa warga tidak hanya datang untuk mengumpulkan sisa logam, tetapi juga terlibat dalam proses tertentu, yang seharusnya tidak diperbolehkan mengingat risiko tinggi kegiatan tersebut.