TERASJABAR.ID – Presiden Prabowo merombak kabinet dengan mengganti empat hingga lima menteri pada Senin, 8 September 2025.
Terkait perombakan itu, pakar tata hukum negara, Refly Harun, menyebut dua menteri asal ‘geng Solo’, –Budi Arie dan Dito Ariotejo– serta satu figur dekat PDIP ikut tumbang.
Refly dalam podcastnya, –tayang Senin malam 8 Sepetember 2025– mengatakan bahwa
rekam jejak Budi Arie jelas bermasalah.
Saat menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika (sekarang Komunikasi Digital), Budi Arie terseret isu kebocoran data nasional serta dugaan setoran “jatah proyek” yang sempat terungkap dalam sidang-sidang korupsi.
Meski dipindahkan ke Kementerian Koperasi, publik tetap meragukan kapasitas dan integritasnya.
BACA JUGA: Mahfud MD Angkat Dua Jempol untuk Reshuffle Kabinet Prabowo
Sementara itu, Dito Ariotedjo juga tak lepas dari sorotan.
Namanya sempat dikaitkan dengan skandal korupsi BTS karena menerima aliran dana sebesar Rp27 miliar saat masih menjadi staf Menteri Koordinator Perekonomian.
Dana itu memang dikembalikan lewat kuasa hukumnya, Maqdir Ismail.
Namun, pengembalian uang jelas tidak serta-merta menghapus dugaan tindak pidana.
Ironisnya, Dito tetap diangkat menjadi menteri. Setelah hampir setahun menjabat, akhirnya ia pun ikut diganti.
Pertanyaan publik kemudian: apakah hanya dua orang ini dari “geng Solo” yang akan jatuh? Bisa saja masih ada nama lain, mengingat sejumlah menteri lain juga dikaitkan dengan berbagai persoalan.
Pencopotan Budi Gunawan
Selain dua nama tadi, pencopotan Budi Gunawan juga mengejutkan.
Sosok BG dikenal sangat berpengaruh di era Jokowi, terutama sebagai Kepala BIN selama hampir dua periode.
Ia pernah lolos dari kasus “rekening gendut” lewat praperadilan, kemudian menjadi Wakapolri, lalu dipercaya sebagai Kepala BIN.
Dukungan Megawati dan PDIP membuat posisinya semakin kuat.
Namun, saat dipercaya Prabowo menjadi Menko Polhukam, kinerjanya justru dipertanyakan.
Dalam kerusuhan besar kemarin, perannya hampir tak terlihat.
Padahal, Menko Polhukam seharusnya menjadi garda terdepan mengoordinasikan kementerian terkait dalam menangani politik, hukum, dan keamanan.
Alih-alih tampil, justru Presiden Prabowo dan Menteri Pertahanan yang mengambil alih panggung.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah BIN dan posisinya selama ini lebih dimanfaatkan sebagai alat politik ketimbang fokus pada fungsi intelijen negara yang sebenarnya, –yakni mengawasi ancaman asing– bukan sibuk dalam pertarungan politik dalam negeri?
Karena itu, pergantian ini menjadi sinyal penting. Prabowo dituntut tegas untuk tidak sekadar mencopot, tapi juga memastikan kasus-kasus lama, –seperti dugaan korupsi BTS atau keterlibatan dalam praktik setoran proyek– ditindaklanjuti oleh penegak hukum, baik Kejaksaan, KPK, maupun kepolisian.
Publik tentu berharap, mereka yang benar-benar bersih diberi ruang, sementara yang terbukti “bermain” harus diproses hukum, bukan malah diberi jabatan.-***