Terungkap, Hasil Analisis Menunjukkan Suhu Tinggi Lingkungan Memperlambat Penyebaran Covid-19

Terungkap, Hasil Analisis Menunjukkan Suhu Tinggi Lingkungan Memperlambat Penyebaran Covid-19
Sumber: NIAID-RML Bentuk virus Corona di mikroskop (Sumber: NIAID-RML)
Editor: Malda Teras Health —Senin, 30 Maret 2020 12:58 WIB

Terasjabar.id - Penyebaran SARS-CoV-2 begitu masif di dunia.

Sudah 180 negara dari 195 negara di dunia yang memiliki pasien positif Covid-19.

Itu berarti 80 persen negara di dunia sudah terjangkit wabah corona.

Baru-baru ini sebuah analisis memperlihatkan bahwa suhu suatu daerah mempengaruhi cepat atau lambatnya penyebaran virus corona.

Semakin panas suhu suatu wilayah, semakin lambat penyebarannya.

Sebuah editorial mengungkapkan perbandingan data pertumbuhan kasus Covid-19 di sejumlah negara terdampak.

Sang penulis, Hemant Bakshi, memulai analisisnya pada peringatan tahunan warga Tiongkok, Tahun Baru China 2020 yang jatuh pada 25 Januari lalu.

Analisis ini dimuat dalam medium.com berjudul Summer is Coming.

Liburan Tahun Baru Imlek yang memulai awal 2020 ini menyebabkan banyak turis Tiongkok bepergian ke sejumlah negara.

Dari Wuhan sendiri ada 7 juta orang yang pergi ke luar kota pada Januari silam.

Sebagian besar hanya berkeliling di dalam negeri, tapi setidaknya seribu orang plesiran ke luar negeri.

Masalahnya, tahun ini mereka bepergian tanpa tahu sedang membawa virus nCov-2019 atau pneumonia Wuhan.

Sebab saat itu mereka belum merasa atau menunjukkan gejala apapun.

Bersamaan hal ini, wabah pneumonia Wuhan menyebar di kota asalnya.

Ada artikel New York Times yang berhasil menangkap data pergerakan warga dari Wuhan, sebelum China putuskan lockdown.

Sebagian besar pelancong asal daratan China ini pergi ke Asia Utara seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.

Sementara itu sebanyak 900 lainnya pergi ke New York Amerika dan beberapa ke Eropa.

Namun destinasi yang memiliki kunjungan wisatawan Tiongkok tertinggi ada di Asia Tenggara.

Bangkok sendiri mendapat 15.000 turis asal China pada Januari lalu.

Sementara itu Bali dengan 5.000 wisatawan, serta banyak lainnya pergi ke Vietnam, Kamboja dan lainnya.

Nahasnya tahun ini nCov-2019 yang kini dikenal Covid-19 menyebar diam-diam.

Akibatnya Januari lalu infeksi corona mulai muncul di luar China.

Adalah Bangkok yang mendapat giliran pertama itu, korbannya sendiri adalah wanita lansia keturunan Tionghoa.

Tidak butuh waktu lama, wabah terus menampakkan dirinya di Korea Selatan, Jepang, Diamond Princess, Singapura, dan lainnya.

Tetapi infeksi di Seattle, bagian dari Amerika Utara dan Eropa belum tersentuh.

Sampai pada akhirnya, kasus Covid-19 tiba-tiba meledak di Italia pada awal Februari.

Ingat semua turis itu mayoritas pergi ke Asia Tenggara, tapi di mana jejak kasusnya?

Bahkan Thailand beberapa waktu lalu masih melaporkan satu korban meninggal, dan tragisnya setelah itu bertambah dua.

Sementara kini, Senin (30/3/2020), baru ada tujuh orang korban jiwa.

Singapura juga lama tidak melaporkan kematian akibat virus ini, sampai pada akhirnya ada satu di Bali.

Vietnam, Kamboja, untungnya tidak melaporkan satu kematian pun sejauh ini.

Di sisi lain, angka kematian di Italia, Amerika Serikat dan bagian lain Eropa sangat tinggi.

Lantas ini memunculkan tanda tanya besar, mengapa ini bisa terjadi?

Ada banyak data dan analisis tentang jumlah kasus Covid-19.

Jumlah kasus terkait tingkat pengujian dan seringkali pasien bergejala ringan tidak pergi ke dokter.

Namun sayangnya kematian itu nyata dan tidak bisa disembunyikan.

Hemant Bakshi mencoba membandingkan jumlah kematian dengan per satu juta populasi di sejumlah negara.

data
Melirik perbandingan data pertumbuhan kasus Covid-19 di dunia. (medium.com) 

Negara-negara terbagi dalam dua kelompok.

Meski sulit dipercaya, tetapi perbedaan tingkat kematian di kedua kelompok berbeda tidak hanya 2 kali atau 3 kali tapi lebih dari 100 kali.

Tingkat kesenjangan ini sangat jarang ditemukan pada data biologi.

Bakshi kemudian mencoba melakukan perhitungan yang sama kepada berbagai kota di negara yang sama dan menemukan pola yang sama walaupun tidak mencolok.

Milan terkena dampak lebih dari Naples, sementara New York dan Seattle lebih dari Houston dan Miami.

Jelas, mungkin ada banyak alasan untuk perbedaan ini.

Umur populasi, campuran gender, kondisi kesehatan yang mendasarinya, dan masih banyak lagi.

Tetapi tidak ada yang benar-benar menjelaskan perbedaan sepenuhnya dari satu faktor atau mungkin suhu rata-rata di bulan Februari.

Saat mengorelasikan data sebelumnya dengan suhu rata-rata di Februari, terlihat ada kecocokan.

Bakshi lantas menyusun kematian per satu juta menggunakan perhitungan logaritma agar data lebih terlihat.

Berdasarkan data Februari lalu rata-rata suhu adalah 20 derajat.

data data
Melirik perbandingan data pertumbuhan kasus Covid-19 di dunia. (medium.com)

Bisa dilihat dari grafik tersebut, ada negara yang termasuk outliner antara lain Jepang, Finlandia, dan lainnya, yang memiliki suhu rendah dan kematian tetap rendah.

Namun tidak ada satupun negara dengan suhu rata-rata lebih dari 20 derajat yang terkena dampak virus ini.

Apakah ini alasan Asia Tenggara yang menghadapi serangan awal virus sejauh ini lolos relatif tanpa cedera?

Hipotesisnya adalah suhu tinggi membatasi penyebaran penyakit ini.

Itu tidak menghilangkannya, tetapi penyebarannya lebih lambat.

Bakshi kembali menguji hipotesisnya ini, dengan bebagai cara salah satunya berapa hari kematian berlipat ganda, berapa hari peningkatan kematian dari 25 ke 50 dan lainnya.

Pada akhirnya ia mendapat kesimpulan sama.

Temperatur di bawah 10 derajat (rata-rata) perkembangan penyakit adalah geometris dan di atas 20C (rata-rata) adalah linear.

Ada studi medis yang muncul yang mendukung kesimpulan ini.

Temperatur yang lebih tinggi akan memperlambat penyebaran penyakit yang ditakuti ini.

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)



Virus Corona Covid 19 Suhu Tinggi Lingkungan


Loading...