Terungkap dugaan sindikat jual beli surat suara di Malaysia - Seperti apa modusnya?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan untuk menggelar pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, Malaysia pada Maret mendatang lantaran adanya pelanggaran dalam pemutakhiran data pemilih dan praktik jual-beli surat suara.
Berdasarkan temuan Migrant Care, praktik jual beli itu terjadi pada pemungutan surat suara yang menggunakan metode pengiriman melalui pos. Satu surat suara diperkirakan dijual antara Rp65.000-Rp164.000.
Ketua Bawaslu, Bagja Hidayat, mengatakan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) sedang melakukan penyelidikan dan pemberkasan karena dugaan jual beli surat suara pemilu di Malaysia memiliki unsur pidana.
Seperti apa modus jual beli surat suara di Kuala Lumpur?
Staf Migrant Care, Muhammad Santosa, mengatakan pemungutan suara di luar negeri seperti di Malaysia menggunakan tiga cara.
Pertama, warga negara Indonesia yang telah masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) bisa datang langsung ke Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri atau TPSLN.
Kedua, pemilih dapat mencoblos di Kotak Suara Keliling (KSK) yang dibawa panitia pemilihan luar negeri.
Ketiga, mengirim surat suara ke pemilih dan dicoblos, lalu dikirim kembali ke panitia melalui pos.
Muhammad Santosa berkata dari tiga metode tersebut, pencoblosan lewat pos adalah yang paling rawan terjadi kecurangan.
Ini karena surat suara yang dikirim melalui pos ke apartemen-apartemen WNI di Kuala Lumpur tidak diterima langsung oleh si pemilih sehingga tak ada yang mengawasi.
Letak kotak posnya pun tidak aman.
Peneluruan Migrant Care ke salah satu apartemen memperlihatkan bagaimana kotak pos para pemilik apartemen yang berada di pintu keluar-masuk tak dikunci dengan gembok.
Sebagai pengaman, sebuah tali diikat di pengait kotak pos.
Bahkan celah untuk memasukkan surat terbuka cukup lebar sehingga tangan orang dewasa bisa menyusup di antara celah tersebut.
Yang jadi masalah lagi, kata Santosa, para pemilih disebut tak tahu kapan surat suara lewat pos itu sampai dan tak ada pemberitahuan juga dari PPLN.
"Jadi yasudah dibiarkan begitu saja [surat suaranya]. Di situlah para mafia-mafia ini beraksi," ujar Muhammad Santosa kepada BBC News Indonesia.
Para sindikat itu, kata dia, sudah berpengalaman. Sebab peristiwa yang sama juga terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya.
"Mereka enggak hanya sekali atau dua kali melakukan ini. Setiap pemilu [sindikat ini] sudah memahami kiranya di mana apartemen yang banyak WNI, di mana yang banyak kirimannya [surat suara], dan kapan jadwal pengiriman pos."
Santosa berkata, para sindikat jual beli surat suara ini sudah punya pembagian wilayah.
Setelah semua surat suara yang dicuri dikumpulkan, nantinya akan ditawarkan ke pihak-pihak tertentu. Terutama ke tim calon anggota legislatif yang sedang memperebutkan suara di luar negeri.
Pantauan Migrant Care, satu surat suara dihargai Rp65.000-Rp164.000.
"Ketika ada banyak [surat suara], ditawarkan eh siapa nih yang mau beli? Intinya mereka [sindikat] ini tidak berorientasi pada salah satu calon tertentu, yang penting deal-dealan harga oke langsung dieksekusi."
"Makanya ada caleg-caleg yang enggak pernah kampanye tiba-tiba suaranya tinggi di Kuala Lumpur. Padahal tidak pernah kampanye atau menemui para WNi tapi dapat suara tinggi."
Apakah ada dugaan keterlibatan orang dalam?
Santosa menduga kuat ada keterlibatan penyelenggara pemilu dalam sindikat jual beli surat suara di Kuala Lumpur.
Sebab yang tahu siapa saja daftar pemilih, di mana tempat tinggal mereka, dan kapan surat suara itu dikirim lewat pos hanya panitia yang menyimpan informasi tersebut.
Migrant Care, katanya, sebelum Pemilu 2024 dilaksanakan pihaknya sudah berulang kali meminta penyelenggara pemilu agar menghentikan pemungutan suara lewat sistem pos di Kuala Lumpur. Tapi tak pernah didengar.
Ia mensinyalir mengapa sistem pos terus diterapkan karena ada motif ekonomi.
Sepengetahuannya biaya untuk sekali mengirim surat suara lewat pos sebesar Rp45.000-Rp50.000. Namun besaran ongkos tersebut tak pernah dibuka secara transparan peruntukannya oleh PPLN.
Kalau hitungan mereka, bayaran untuk mengirim satu surat suara lewat pos paling tidak Rp29.000.
"Nah apakah PPLN ini transparan dan angka 14-15 ringgit Malaysia itu benar-benar ataukah ada main-main?"
"Bayangkan saja kalau angka itu dikalikan dengan jumlah pemilih di Kuala Lumpur yang mencapai 160.000 sudah berapa coba?"
Untuk diketahui jumlah pemilih yang terdaftar di Kuala Lumpur pada Pemilu 2024 sebesar 447.258 orang. Dari angka itu, sekitar 160.000 orang mencoblos surat suara yang dikirim melalui pos.
Perkiraan Migrant Care, sekitar 50% dari jumlah surat suara yang dikirim lewat pos kepada pemilih di Kuala Lumpur dijual oleh sindikat ke calon anggota legislatif tertentu.
Hentikan pemungutan suara lewat pos
Migrant Care, kata Santosa, sudah melaporkan indikasi jual beli surat suara di Kuala Lumpur ke Bawaslu tapi ditolak karena alasannya kekurangan bukti materiil.
"Kami minta penjelasan dari Bawaslu yang mersgister apa itu bukti materiil tapi kami disuruh bersurat ke Ketua Bawaslu."
Pada Rabu (21/02) lalu, pihaknya melaporkan ke Bawaslu Pusat.
Terlepas dari itu, dia berharap penyelenggara pemilu tidak lagi menggunakan metode pos di Kuala Lumpur karena sangat susah diawasi.
"Metode pos itu banyak kecurangan yang terjadi, seperti pengiriman dobel. Itu terjadi di Hong Kong dan Taiwan, satu alamat dikirim sepuluh surat suara."
"Kalau mencoblos di TPS kan enggak mungkin satu orang dikasih sepuluh surat suara."
Apa temuan KPU dan Bawaslu?
Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu mengakui ada dugaan pelanggaran dalam pemutakhiran data pemilih di Kuala Lumpur.
Bawaslu menemukan hanya sekitar 12% pemilih yang dilakukan proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh PPLN Kuala Lumpur dari total sekitar 490.000 orang dalam Data Penduduk Potensial Pemilih (DPT4) dari Kementerian Luar Negeri.
Bawaslu juga menemukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) fiktif sebanyak 18 orang.
Akibatnya jumlah Daftar Pemilih Khusus (DPK) atau pemilih yang tak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) membludak pada hari pemungutan suara hingga sekitar 50% di Kuala Lumpur.
Bawaslu bahkan sempat mengungkapkan ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seharusnya dikirim untuk pemilih melalui pos.
https://www.tiktok.com/@maryammukaromah1/video/7332389525861321989?_t=8kEKXa74gcc&_r=1
Selain persoalan pemutakhiran data pemilih, Bawaslu juga sedang menelusuri dugaan jual beli surat suara di sana merujuk pada video yang viral di media sosial TikTok.
Di video itu tampak tumpukan surat suara dalam amplop dibuka dan dicoblos oleh beberapa orang. Pencoblosan dilakukan pada surat suara capres-cawapres dan untuk calon anggota legislatif.
"Video yang beredar kemudian kita selidiki, telusuri," ujar Ketika Bawaslu Bagja Hidayat.
Bagja menambahkan, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) sedang melakukan penyelidikan dan pemberkasan karena dugaan jual beli surat suara pemilu di Malaysia memiliki unsur pidana.
KPU putuskan lakukan pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur
Dalam konferensi pers pada Selasa (27/02), Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan pihaknya memutuskan untuk menggelar pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur.
Pemungutan suara ulang itu akan menggunakan dua metode dan berlangsung selama dua hari.
Motodenya antara lain: pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (PTSLN) dan Kotak Suara Keliling (KSK).
"Metode yang akan digunakan untuk pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur walaupun yang direkomendasikan itu metode KSK dan pos, tapi untuk ke depan pemungutan suara ulang akan menggunakan dua metode yaotu TPS dan KSK," tutur Hasyim di Kantor KPU, Jakarta seperti dilansir Antara.com.
Pemungutan suara ulang tersebut, katanya, termasuk kategori luar biasa.
Sebab pemungutan suara ulang mestinya dilakukan maksimal 10 hari setelah pemungutan suara serentak atau 24 Februari 2024. Namun pemungutan suara ulang memerlukan waktu lebih lantaran harus mempersiapkan logistik dan mengingatkan para pemilih.
Untuk itu waktu pemungutan suara ulang akan digelar pada 9 Maret 2024 dengan memakai metode KSK dan 10 Maret 2024 melalui TPS.
Nantinya, ujar Hasyim, dua komisioner KPU yakni Idham Kholik dan Mochamad Afifuddin akan ditugasi untuk mempersiapkan pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur.