"Seperti menunjukkan sikap tidak respek terhadap para calon hakim agung dengan menunjukkan ekspresi garang. Namun, pada saat yang bersamaan, tidak menukik kepada pertanyaan-pertanyaan yang mendalami kompetensi minimum yang dibutuhkan oleh calon hakim agung, seperti integritas dan kapabilitas," kata salah satu anggota koalisi, Julius Ibrani, melalui keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (4/8/2021).
Selain itu, koalisi menyoroti pendalaman profil berupa klarifikasi rekam jejak setiap calon hakim agung yang dalam wawancara kali ini yang malah dilakukan secara tertutup. Padahal dari 24 calon yang lolos tahap wawancara, lanjut dia, ada sejumlah catatan yang patut dipertanyakan seperti kekayaan yang dinilai tidak wajar serta dugaan perilaku yang tidak profesional.
"Publik tidak bisa lagi mengetahui proses klarifikasi terhadap data-data atau informasi yang bersifat publik yang dimiliki calon hakim agung. Hal itu tentu saja sebuah kemunduran proses seleksi dibandingkan proses-proses seleksi sebelumnya yang lebih terbuka dan transparan," ujar Julius.
Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan menuntut Komisi Yudisial agar lebih serius dalam tes wawancara selanjutnya yang dilakukan kepada 24 calon hakim agung dengan rincian 15 orang yang memilih kamar pidana, 6 orang kamar perdata dan 3 orang kamar militer.
LIHAT JUGA :
View this post on Instagram
"Proses wawancara ini seharusnya menjadi sarana bagi Komisi Yudisial untuk menggali lebih dalam terkait kompetensi, rekam jejak, dan integritas calon," tutur Julius.
Menurut dia, Komisi Yudisial seharusnya mengedepankan proses yang tranparan. Hal ini mengingat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan, Komisi Yudisial berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Oleh karena itu, berikut desakan dari Koalisi Pemantau Peradilan kepada Komisi Yudisial:
1. Melakukan proses wawancara dengan memberikan pertanyaan yang bermanfaat untuk menguji kompetensi calon hakim agung dan bukan pertunjukan kegarangan.
2. Memilih calon hakim agung yang memiliki profil berupa kompetensi yang mumpuni dan integritas yang baik.
3. Menelusuri rekam jejak, termasuk dari sumber LHKPN para calon hakim agung agar bisa memastikan bahwa calon hakim agung yang terpilih memiliki rekam jejak yang bersih dan berintegritas.
4. Memilih calon hakim agung dengan mempertimbangkan semua hasil penilaian tahapan seleksi.
5. Memastikan calon hakim agung yang terpilih memiliki pemahaman dan komitmen terhadap hak asasi manusia dan keberpihakan pada kelompok rentan dan minoritas
6. Tidak meloloskan calon hakim agung yang memiliki rekam jejak buruk dan tidak berintegritas.
TONTON JUGA :