Lima Ciri Rumah Tahan Gempa, Jangan Membangun di Tanah yang Mudah Menyerap Air

Lima Ciri Rumah Tahan Gempa, Jangan Membangun di Tanah yang Mudah Menyerap Air
Tribunjabar.id
Editor: Malda Life Style —Selasa, 16 Maret 2021 15:09 WIB

Terasjabar.id - Indonesia termasuk negara yang rawan terhadap gempa bumi.

Kondisi itu terjadi karena Indonesia terletak di kawasan pertemuan tiga lempeng tektonik yang bergerak dari Australia, Eropa, dan Pasifik.

Letak Indonesia yang demikian menimbulkan konsekuensi di negeri ini banyak terjadi gempa, akibat adanya interaksi antar lempeng.

Kita tahu, gempa tak mungkin dapat dicegah.

Selain itu, besarnya energi yang dilepaskan gempa juga belum dapat diperkirakan dengan akurat.

Namun, banyak cara antisipatif untuk meminimalisasi bahaya yang diakibatkan gempa.

Salah satu caranya memastikan setiap rumah tinggal kita memiliki struktur bangunan tahan gempa.

Rumah tahan gempa memiliki karakteristik tersendiri, yang umumnya dilingkupi fondasi yang memenuhi standar dan telah teruji coba aman dari guncangan besar.

Dengan begitu, saat terjadi gempa, Anda dan keluarga akan aman saat berada di dalam rumah.

1. Hindari membangun rumah di permukaan berporus

Seberapa pun canggihnya teknologi arsitektur yang diterapkan dalam bangunan tahan gempa, jika permukaannya tidak cukup kuat menopang massa bangunan, rumah tetap rentan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa.

Tanah berporus
Tanah berporus (Kompas.com)

Hindari membangun rumah di atas tanah yang terlalu porus atau mudah menyerap air dan pastikan kepadatannya cukup solid.

Parahnya kerusakan rumah akibat gempa di Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu, terjadi karena kawasan perumahan dibangun di atas tanah yang belum terkonsolidasi dengan baik.

2. Rancang fondasi ikat atau isolator

Karena gempa langsung memengaruhi struktur dasar bangunan, maka penting merancang fondasi yang dapat menahan getaran gempa.

Solusi yang pertama dilakukan adalah dengan mengikat seluruh fondasi ke dalam satu struktur sehingga bisa bergerak dalam kesatuan unit.

Selain itu, bisa juga diterapkan fondasi isolator (base isolator).

Fondasi ini membuat bangunan dapat bergeser mengikuti pergerakan gempa.

Saat gempa terjadi, fondasi dapat menahan struktur bangunan di atasnya tanpa menggerakkannya sama sekali.

Sebagai hasilnya, gaya lateral dari gempa berhasil diredam sehingga mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan.

3. Konstruksi beton bertulang

Meskipun memiliki struktur fondasi yang solid, rumah tetap dapat mengalami guncangan saat gempa terjadi.

Hal ini berhubungan dengan tingkat daktilitas atau kelenturan material dalam menyerap energi gempa sehingga dapat mempertahankan keseluruhan struktur bangunannya.

Semakin lentur materialnya, semakin stabil konstruksinya.

Beton bertulang
Beton bertulang (Kompas.com)

Konstruksi bangunan sebaiknya dirakit menggunakan material beton bertulang karena memiliki tingkat kelenturan yang tinggi.

Material ini juga memiliki komponen yang bervariasi sehingga dapat membentuk struktur bangunan yang terintegrasi dengan baik.

Idealnya, konstruksi rumah tahan gempa juga menyertakan sistem peredam (active mass damping) yang dapat menahan beban di bagian atas bangunan agar tidak ambruk saat gempa terjadi.

4. Mengadopsi teknologi konstruksi Jepang

Jepang, sebagai negara yang paling sering mengalami gempa, telah lama menerapkan prinsip bangunan antigempa.

Salah satu desain arsitektur antigempa yang dapat ditiru adalah desain pada kuil dan bangunan-bangunan modernnya yang menerapkan sistem sensor airbag.

Setiap rumah mulai dipasangi sensor yang dapat mendeteksi getaran dari dalam bumi.

Sensor tersebut mengaktifkan kompresor yang akan memompa udara ke dalam airbag yang terpasang di fondasi bangunan.

Airbag yang menggelembung mengakibatkan bangunan terangkat dan melayang di atas permukaan tanah yang bergerak akibat gempa.

Dengan begitu, setiap ruang dan bagian di rumah akan aman, seperti kitchen set di dapur.

5. Adopsi arsitektur rumah dome

Rumah dome yang berbentuk membulat seperti Igloo, yaitu rumah khas suku Eskimo, diterapkan di perkampungan Sleman, daerah yang terkena bencana gempa Yogyakarta tahun 2006.

Selain struktur bangunan yang minim sudut, penggunaan material ringan seperti styrofoam juga bisa meminimalisasi bahaya yang diakibatkan guncangan besar.

Dampak risiko bencana gempa akan semakin besar seiring dengan jumlah penduduk yang bertambah dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

Sudah saatnya kita mempersiapkan diri dari bencana berskala besar dengan membangun rumah tahan gempa. (Tribunjabar.id)




Rumah Tahan Gempa Viral


Loading...