Keanehan Menurut Pengamat Saat Moeldoko Terpilih Jadi Ketum Demokrat, Etika Politik Dipinggirkan

Keanehan Menurut Pengamat Saat Moeldoko Terpilih Jadi Ketum Demokrat, Etika Politik Dipinggirkan
Tribunjabar.id
Editor: Malda Teras Techno —Senin, 8 Maret 2021 10:57 WIB

Terasjabar.id - Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang digelar di Deli Serdang, Sumatera Utara, akhir pekan lalu, memberikan kejutan dan dinilai sebuah anomali politik dan demokrasi bagi sebagian pengamat.

Di KLB ini tiba-tiba saja Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Moeldoko seperti diketahui sekarang menjadi Kepala Staf Kepresidenan.

KLB kemarin digelar oleh pihak yang kontra dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)

Sebutan anomali politik dikatakan oleh peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro.

"Dari perspektif demokrasi, peristiwa KLB Sumut ini bisa dikatakan sebagai anomali politik dan demokrasi, tentu tidak lazim," kata Siti Zuhro, dalam diskusi Polemik MNC Trijaya, Sabtu (6/3/2021).

KLB sebetulnya bukan hal baru. Sejumlah partai politik pernah mengadakan KLB.

Namun, KLB Partai Demokrat dinilai tidak lazim karena tidak mengikuti anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), serta menghasilkan pihak eksternal partai sebagai ketua umum.

"Untuk tentu pegiat politik, pegiat demokrasi, intelektual, akademisi yang belajar demokrasi, ini membingungkan," ujar Siti Zuhro.

Siti Zuhro menilai penunjukan Moeldoko menandakan nilai-nilai, moral, dan etika politik sudah dipinggirkan.

Terlebih, Moeldoko merupakan seorang pejabat aktif di lingkaran pemerintahan.

"Ini dilarang keras, menurut saya, itu tidak perlu belajar untuk menjadi sarjana politik, ilmu politik, yang seperti itu sudah tidak etis," kata dia.

Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam acara diskusi di bilangan Cikini, Jakarta, Sabtu (30/7/2016)
Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam acara diskusi di bilangan Cikini, Jakarta, Sabtu (30/7/2016) (KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)

Jokowi harus bicara

Terkait manuver yang dilakukan Moeldoko, Siti Zuhro berpendapat bahwa Presiden Joko Widodo mesti angkat bicara.

Ia mengatakan, langkah Moeldoko itu akan mempertaruhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, pihak Istana, maupun Jokowi sendiri.

Sebab, keterlibatan Moeldoko dalam konflik di Demokrat tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai orang di lingkaran terdekat Jokowi.

"Jangan sampai Pak Jokowi tidak menangkap, mempertimbangkan kisruh yang ada di Demokrat ini secara seksama. Tidak boleh ada pembiaran dari Istana," kata dia.

Hal senada diungkapkan peneliti Centre for Strategis and International Studies (CSIS) Arya Fernandes.

Ia mengatakan, Jokowi juga harus bicara untuk menekankan pentingnya nilai dan etika dalam berdemokrasi.

"Presiden harus bicara soal pentingnya menjaga nilai dan etika demokrasi," kata Arya saat dihubungi, Sabtu (6/3/2021).

Arya menilai, manuver Moeldoko akan menjadi persoalan karena KLB yang digelar kubu kontra-AHY tidak memenuhi persyaratan yang diatur AD/ART Partai Demokrat.

Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng mengatakan, sikap diam Jokowi dapat menandakan perbuatan Moeldoko memang dibiarkan oleh Kepala Negara.

Menurut Andi, Moeldoko tidak mungkin bermanuver tanpa seizin atau sepengetahuan Jokowi.

Sebab, mantan Panglima TNI itu merupakan salah satu pejabat yang berada di lingkaran terdekat Jokowi.

"Kalau betul itu dilakukan dan kemudian tidak ada dan dibiarkan, saya khawatir ini memang pemerintahan Pak Jokowi membiarkan kejadian-kejadian semacam ini, membiarkan terjadinya intervensi dari orang yang sedang berkuasa," kata Andi.

Presiden Jokowi saat berada di Bendungan Tukul di Pacitan, Jawa Timur, usai diresmikan, Minggu (14/12/2021).
Presiden Jokowi saat berada di Bendungan Tukul di Pacitan, Jawa Timur, usai diresmikan, Minggu (14/12/2021). ((Dok. Istana Kepresidenan/Agus Suparto))

Oleh karena itu, Andi meminta penjelasan dari pihak Istana, apakah manuver itu benar-benar kepentingan pribadi atau ada kaitannya dengan pemerintah.

"Kita menunggu sebenarnya apa yang ingin dikatakan oleh Pak Jokowi, kita sudah kirim surat kok tapi sampai sekarang tidak ada jawaban," ujar dia.

Sikap pemerintah Hingga berita ini ditulis, Jokowi belum angkat bicara soal kisruh Partai Demokrat.

Namun, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, hingga kini pemerintah masih mengakui kepengurusan Partai Demokrat yang dipimpin oleh AHY.

Pengakuan tersebut merujuk pada Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Nomor M.HH-09.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat tertanggal 18 Mei 2020.

Mahfud menjelaskan, AD/ART tersebut nantinya akan menjadi dasar bagi pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Partai Demokrat.

"Karena logika hukum juga logika masyarakat, jadi kita ndak boleh main-main. Jadi AD/ART yang sah itu sampai sekarang ke Kemenkumham yang diserahkan tahun 2020, itu nanti dasar utamanya," ujar Mahfud dalam keterangan video, Minggu (7/3/2021).

Ia mengatakan, permasalahan tersebut akan diselesaikan berdasarkan hukum. Untuk itu, pemerintah masih menunggu laporan mengenai pelaksanaan KLB oleh kubu kontra-AHY.

Sebab, selama belum adanya laporan tersebut, pemerintah tidak bisa menganggap adanya KLB kubu kontra-AHY.

"Secara hukum ya, meskipun telinga kita mendengar, mata melihat, tapi secara hukum kita tidak bisa mengatakan itu KLB sebelum dilaporkan secara resmi hasilnya kepada pemerintah," kata Mahfud.

(Tribunjabar.id)


moeldoko Viral Demokrat KSP LSI elektabilitas Pengamat


Loading...