Kita Perlu Ingatkan Jokowi Hulu Ketidakadilan Bukanlah UU ITE

Kita Perlu Ingatkan Jokowi Hulu Ketidakadilan Bukanlah UU ITE
Presiden Jokowi. (Foto: Lukas - Biro Pers)
Editor: Malda Teras Viral —Jumat, 26 Februari 2021 08:45 WIB

Terasjabar.id -- 

Pada suatu hari di tahun 2019 lalu, sekonyong-konyong seorang teman datang ke tempat tinggal saya. Ia datang dengan dengan sebuah maksud: untuk beberapa hari ke depan ia butuh tempat buat mengungsi. Ia mendadak jadi buronan pelanggaran UU ITE!


Ia merasa tak nyaman tinggal sendiri di kos-kosan sembari menyandang status itu, apalagi salinan surat pemanggilan sudah ia lihat dengan mata kepala sendiri. Setelah sejenak mendengar cerita langsung dari yang bersangkutan mengapa ia sampai bisa terjerat pasal karet penghinaan, saya tak sanggup menahan tawa. Betapa lucu dan konyol enggak penting kasusnya.

Ia hanya mengkritik sebuah video musik, dibilangnya lagu di video itu jelek. Tapi yang nyanyi bukan sembarang penyanyi: seorang tokoh purnawirawan kingmaker politik dalam negeri. Ia kemudian dilaporkan atas kasus penghinaan. Siapa sangka kasus 'enggak penting' seperti itu bisa membuatmu dipanggil polisi.


Orang tersinggung punya banyak pilihan untuk meladeni rasa ketersinggungannya.

Ada opsi tradisional yang mencakup beberapa cara, misalnya mendatangi orang yang dianggap menghina, mengajaknya bicara baik-baik lalu mencari titik tengah. Jika titik tengah tak kunjung ditemui, bisa saja konflik menajam sampai berbuah dendam atau kekerasan, yang tentu saja merepotkan.

Tapi kini, tepatnya sejak 2008 usai UU ITE disahkan, orang tersinggung tak perlu lagi repot-repot sebab ada opsi yang lebih efektif dan efisien untuk bikin kapok pengkritik: laporkan saja ke polisi! Opsi ini lebih berkelas (baca: terkesan intelek) dibanding opsi-opsi tradisional. Sudah berkelas, legal pula! Apalagi, jika si pelapor surplus uang, koneksi, dan kekuasaan makin moncreng lah masa depannya dalam urusan bungkam-membungkam kritik.

Data yang dihimpun berbagai LSM memang menunjukkan makin ke sini orang makin suka pakai UU ITE. Di 2019 saja, menurut data Polri yang dikutip Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), setidaknya ada 3.100 kasus pelaporan UU ITE. Data Koalisi Masyarakat Sipil yang diumumkan ICJR (Institute for Criminal, and Justice Reform) menunjukkan sepanjang 2016-2020, tingkat putusan (conviction rate) kasus pasal karet mencapai 96,8 persen atau 744 perkara. Sedangkan tingkat pemenjaraan mencapai 88 persen atau 676 perkara.

Pertanyaannya, mengapa makin ke sini orang yang dikritik makin mudah main lapor ke polisi? Mengapa orang makin doyan menakut-nakuti publik dengan UU ITE?

(FILES) In this file photo taken on August 28, 2019 A picture taken on August 28, 2019 shows the logo of US online social media and social networking service, Facebook displayed on a tablet in Lille. - Facebook on August 14 joined the attack on Apple's operation of its App Store after the iPhone maker refused to forgo its commission on live online events hosted on the social network that allow people to make money during the pandemic. (Photo by DENIS CHARLET / AFP)Ilustrasi Facebook. (Foto: AFP/DENIS CHARLET)

Barangkali itu ada kaitannya dengan yang namanya toleransi politik. Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky dalam How Democracies Die (2018) mengatakan bahwa demokrasi memang dibangun berdasarkan konstitusi dan aturan-aturan turunan yang dibikin untuk menjamin hak dan kebebasan warga negara. Tapi yang membuat demokrasi di Amerika Serikat terus hidup, kata mereka, justru norma-norma tak tertulis. Norma-norma inilah yang menjadi pagar penjaga demokrasi.

"Norma-norma ini sifatnya seperti oksigen," kata mereka. Keberadaannya acap tak disadari. Tapi bila tetiba hilang, efeknya fatal.

Dari seabrek aturan tak tertulis yang menjaga kohesivitas demokrasi, ada dua yang disorot Ziblatt dan Levitsky: mutual toleration dan institutional forbearance. Mutual toleration mengacu pada sikap menerima lawan politik sebagai oposisi yang sah. Atau, dalam bahasa Robertus Robet, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, adalah kemauan untuk hidup bersama ide-ide dan kelompok yang tak sepaham.

Di atas kertas, peringkat demokrasi Indonesia memang turun. Indeks Economist Intelligence Unit (EIU) tahun ini menempatkan demokrasi Indonesia di urutan 64 dari 167 negara, jauh di bawah Timor Leste (urutan 44) dan Malaysia (39).

Pun EIU mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat. Hanya aspek proses elektoral dan jalannya pemerintahan saja yang nilainya lumayan bagus, tapi pada aspek kultur demokrasi dan kebebasan sipil nilainya jeblok. EIU juga menilai demokrasi Indonesia saat ini adalah yang terburuk sepanjang satu dekade terakhir.

Di lapangan, menurunnya kultur dan kebebasan sipil hadir dalam bentuk represi yang mencekam: Unjuk rasa selalu direspons dengan brutalitas aparat.

Demonstran ditembak. Militerisme di Papua yang memicu eksodus besar-besaran. Pendeta diduga ditembak tentara. Organisasi yang berseberangan dengan pemerintah semacam FPI dan HTI dibubarkan paksa, anggotanya bahkan diduga ditembak mati di jalanan oleh aparat. Blokade internet. Kooptasi kampus yang berbuah ancaman Drop Out. Operasi buzzer yang mengotori media sosial. Jurnalis diperkarakan karena berita. Masyarakat adat diburu sampai ke rumah dan tanahnya dirampas. Penangkapan aktivis, dan masih banyak contoh buruk lainnya.

Di tengah represi yang sedemikian rupa, UU ITE jadi tampak kecil seperti ujung kelingking saja. Tapi tampak peningkatan penggunaannya hadir paralel dengan menurunnya mutu kultur demokrasi dan kebebasan sipil. Kondisi ini diperparah dengan ekses polarisasi Pemilu yang membentuk semacam tribalisme politik dengan munculnya fandom-fandom figur.

Akibatnya, berbagai diskursus dalam demokrasi tak lagi digerakkan adu gagasan yang sehat namun oleh perkara seberapa hebat membela junjungan dan seberapa cepat menjatuhkan fandom lawan. Pada gilirannya, UU ITE menciptakan semacam arena 'sabung ayam' legal yang keberadaannya difasilitasi pemerintah dan operasionalnya dijalankan penegak hukum.

Meski hanya bagian kecil, pasal karet UU ITE memiliki letalitas yang khas. Ini berkaitan dengan norma kedua yang disorot oleh Ziblatt dan Levitsky, yakni institutional forbearance. Singkatnya institutional forbearance mengacu pada ketahanan diri para elite politikus untuk tidak mengeksploitasi kewenangannya ketika berhadapan dengan lawan politik. Sebab mereka sadar jika kewenangan itu dieksploitasi, ada risiko mereka menggerus spirit demokrasi.

Ketika mengungkit institutional forbearance, Ziblatt dan Levitsky selalu mengacu pada hak politik yang secara khusus melekat pada institusi negara. Kekhususan ini tak berlaku pada UU ITE.

Sebab sebagai alat represi, pasal karet UU ITE bisa digunakan siapa saja mulai dari Presiden sampai sipil tanpa perlu melekat pada institusi apapun. Oleh karenanya, demi menjaga keberlangsungan demokrasi, semua orang harus punya ketahanan diri untuk tidak memakai UU ITE atau instrumen lain yang membatasi kebebasan sipil guna membungkam kelompok tak sepaham.

Sayangnya data menyatakan bahwa pejabat publik lah yang paling tak mampu menahan diri.

Presiden Jokowi resmikan bendungan Napun Gete NTT.Presiden Jokowi. (Foto: Muchlis Biro Setpres)


Penelitian ICJR menunjukkan sejak 2018 dua kelompok terbesar pelapor UU ITE adalah pejabat publik dan masyarakat sipil. Sebanyak 35,9 persen pelapor adalah kepala daerah, menteri, aparat keamanan, dan pejabat publik lainnya. Sedangkan pelapor dari masyarakat sipil tercatat mencapai 32,2%. Kita tahu dari kasus-kasus yang muncul di media, sebagian kasus pasal penghinaan pejabat negara, seperti yang dialami teman saya di atas, dilaporkan oleh warga sipil.

Dari perspektif Ziblatt dan Levitsky, kita bisa melihat maraknya penggunaan pasal-pasal karet UU ITE sebagai gejala belaka. Gejala dari tergerusnya mutual tolerance dan institutional forbearance yang mengakibatkan jebolnya pagar penjaga demokrasi Indonesia. Jika hari ini Presiden berinisiatif untuk merevisi berbagai pasal bermasalah, maka ia hanya membereskan perkara hilir saja bukan hulu.

UU ITE bukan cuma sekadar sekumpulan pasal karet berupa pasal defamasi, pencemaran nama baik, gangguan ketertiban umum, yang menimbulkan banyak masalah. Lebih dari itu, ia merusak mutu demokrasi yang sudah susah payah dibangun kembali sejak reformasi. Pemerintah juga perlu menyadari pentingnya mengatasi masalah tepat ke sumbernya: Keengganan penguasa menerapkan checks and balances dalam menjalankan pemerintahan.

Checks and balances di negara demokrasi hadir dalam berbagai bentuk. Secara institusional, ada pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ada partai oposisi yang mengimbangi kewenangan eksekutif. Ada kekuatan politik akar rumput yang mengorganisasi diri jadi oposisi jalanan. Ada masyarakat sipil yang menyampaikan aspirasi dengan berbagai cara, bisa unjuk rasa, bisa kritik lewat tulisan di koran, lewat unggahan di media sosial, dll.

Kita bisa lihat sejak memasuki periode kedua pemerintahan Jokowi, fokus pemerintah justru tertuju pada upaya-upaya mensentralisasi kewenangan ke pusat dan menihilkan oposisi. Ada yang dijinakkan dengan jabatan dan posisi, sebagian besar diberangus dengan represi. Maka kita bisa mengatakan, Jokowi salah mengidentifikasi UU ITE sebagai hulu ketidakadilan. Hulu itu rupanya ada pada tubuhnya sendiri yang menolak checks and balances.

Jika Presiden belum sadar akan hal ini, kita harus terus melontarkan kritik -seperti yang ia minta- agar bangsa tak kembali jatuh ke jurang otoritarianisme.


(asa/asa/CNNIndonesia)

Jokowi UU ITE Viral Kosan


Loading...