Tsunami 20 Meter Ancam Selatan Jawa, Gempa Terbaru 4 Kali Terjadi, Gempa Besar Sudah 8 Kali Tercatat

Tsunami 20 Meter Ancam Selatan Jawa, Gempa Terbaru 4 Kali Terjadi, Gempa Besar Sudah 8 Kali Tercatat
Tribunjabar.id
Editor: Malda Hot News —Senin, 28 September 2020 08:33 WIB

Terasjabar.id - Hasil kajian peneliti Institut Teknologi Bandung ( ITB) tentang potensi gempa kuat di zona megathrust dan terjadinya tsunami 20 meter di selatan Jawa banyak mendapat apresiasi dari para ahli lainnya.

Selain mendapat apresiasi dari Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Dr Daryono, pakar tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun mengimbau agar semua pihak waspada.

Sementara itu, Tribunjabar.id mencatat gempa bumi terbaru yang mengguncang selatan Jawa dalam sepekan ini terjadi empat kali, di Jawa Timur dan Jawa Barat.

Seperti diketahui, BMKG telah menginformasikan gempa bumi berkekuatan 3.5 magnitudo telah mengguncang wilayah Sukabumi, Minggu, (27/9/2020). 

Gempa bumi yang berpusat di 7.01 LS - 107.01 BT, 10 kilomter Tenggara Kota Sukabumi, dengan kedalam 10 kilomter, itu guncangannya dirasakan oleh sejumlah warga Sukabumi, namun hingga saat ini belum ada laporan kerusakan akibat gempa tersebut.

Kepala BPBD Kota Sukabumi, Imran Wardani, mengungkapkan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari BMKG gempa bumi itu terjadi sekitar pukul 16.23 WIB.

"Gempa yang terjadi tadi sore itu, hingga kini belum ada laporan kerusakan atau apapun dari masyrakat," katanya saat dikonfrimasi melalui sambungan telepon, Minggu.

Namun lanjut dia, adanya gempa bumi berkekuatan 3.5 magnitudo tersebut masyarakat diimbau untuk waspada, karena dikhawatirkan akan terjadinya gempa susulan.

"Masyarakat harus tanggap apabila ada retak pada bangunan agar segera melakukan retrofitng atau perbaikan untuk penguatan bangunan supaya tidak terjadi kerusakan yang lebih besar," katanya.

Ia menambahkan, pihaknya hingga kini masih menunggu informasi lanjutan terkait gempat bumi darat tersebut dari BMKG Pusat. 

Kemudian pada Kamis (24/9/2020) malam, BMKG mencatat telah terjadi gempa bermagnitudo 4,7 berpusat di wilayah Pacitan pada koordinat  8.789 LS dan 110.88590 BT.

Gempa tersebut lokasi tepatnya berada di laut pada jarak 72 Km Barat daya Pacitan Jawa Timur pada kedalaman 24 Km.

"Tadi sekitar jam 20.33 WIB. Ini gempa tektonik biasa dan tidak menimbulkan Tsunami. Memang sebagian daerah di DIY di antaranya Gunungkidul, Bantul dan Yogyakarta terasa getarannya," kata Kepala Stasiun Geofisika BMKG Sleman-Yogyakarta, Agus Riyanto saat dikonfirmasi Tribunjogja.com, Kamis (24/9/2020).

Ia mengimbau agar masyarakat tetap waspada lantaran beberapa saat setelah gempa terjadi, terdapat gempa susulan sekitar pukul 20.42 WIB.

"Namun tetap kami imbau masyarakat untuk tidak terpengaruh pada isu yang tidak bertanggung jawab. Kami menekankan masyarakat tetap tenang," tegasnya.

tribunnews
Gempa bumi di Pacitan. (Twitter @infoBMKG)

Sesuai dengan informasi yang diunggah BMKG, gempa Pacitan tersebut getarannya terasa hingga ke II-III Bantul,  Yogyakarta, dan Gunung Kidul dengan skal besaran guncangan antara II-III atau setara seperti truk bermuatan saat melintas.

Dua hari sebelumnya, Selasa (22/9) pukul 08.39, BMKG juga melaporkan telah terjadi gempa bermagnitudo 4,3 dengan pusat gempa di laut 56 km Tenggara Pacitan.

Sementara di Jawa Barat terjadi pada Sabtu (19/9) pukul 20.25 dengan pusat gempa berlokasi di darat 19 Km BaratDaya Kabupaten Purwakarta.

Penjelasan Tim ITB Soal Tsunami 20 meter

Publikasi hasil penelitian tim ahli dari Institut Teknologi Bandung ( ITB) tentang adanya potensi tsunami 20 meter di selatan Jawa, semakin ramai dibicarakan.

Kabar ini, tentunya membuat banyak orang merasa khawatir. Dilansir Tribunjabar.id dari Kompas.com, hasil riset tim peneliti ITB yang telah diterbitkan dalam jurnal Nature Scientific Report pekan lalu mengungkapkan adanya potensi tsunami 20 meter di selatan Pulau Jawa.

Salah satu anggota tim peneliti tersebut, Endra Gunawan mengatakan riset ini menggunakan analisis multi-data dari berbagai peneliti.

tribunnews
Ilustrasi tsunami (pinterest)

Selama ini, sejarah gempa besar di kawasan Pulau Jawa tidak diketahui atau tidak terdokumentasi.

"Pascagempa 2004 di Aceh, beberapa peneliti melakukan pengambilan sampel, atau yang dikenal dengan paleoseismologi, untuk mengetahui sejarah gempa besar di masa lalu di kawasan tersebut," ungkap Endra seperti dikutip Tribunjabar.id dari Kompas.com, Jumat (25/9/2020).

Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa gempa besar yang di Aceh pada tahun 2004 lalu, pernah terjadi 600 tahun yang lalu.

Sedangkan di Jawa, dokumentasi tentang sejarah gempa besar tidak terdokumentasi dan tidak diketahui.

Riset yang dimulai sejak 5 tahun tersebut, mengusulkan pemodelan potensi bencana gempa bumi di zona subduksi di sepanjang selatan Jawa berbasis analisis multi-hazard dan multi-data untuk pengurangan risiko atau mitigasi bencana.

Terkait potensi tsunami dan gempa besar di selatan Jawa, Endra menjelaskan hasil riset itu berasal dari analisis data GPS dan data gempa yang terekam.

"Catatan gempa besar di pulau Jawa tidak terdokumentasikan, oleh karenanya, kami menggunakan GPS untuk mendeteksi potensi gempa yang dapat terjadi," ungkap Endra.

Berdasarkan data GPS menunjukkan adanya zona sepi gempa.

Artinya, bisa jadi zona itu mungkin hanya terjadi pergerakan pelan-pelan, sehingga gempa tidak terjadi, atau sebaliknya terjadi locking, daerah itu terkunci sehingga tidak dapat bergerak.

"Karena gempa itu siklus, maka ada saatnya di mana di wilayah itu ada pengumpulan energi, lalu akan melepaskan saat gempa," ungkap Endra.

Berdasarkan dua aspek studi, yakni menggabungkan data GPS dan data gempa yang saling berkorelasi ini, menyatakan ternyata wilayah Jawa bagian selatan ada potensi gempa di Jawa bagian barat, Jawa bagian tengah dan timur.

Potensi tsunami 20 meter di Jawa bagian barat

Lebih lanjut Endra mengatakan kalau seandainya wilayah-wilayah tersebut terjadi gempa dalam waktu bersamaan, maka worst case menunjukkan akan adanya potensi gempa hingga M 9,1.

"Kemudian dari informasi tersebut, kami modelkan potensi tsunaminya, dan muncullah (potensi tsunami) 20 meter di Jawa bagian barat, dan 10 meter di Jawa bagian tengah dan timur," ungkap dosen Teknis Geofisika ITB ini.

Potensi tsunami di Jawa bagian barat ini berkisar terjadi di wilayah Sukabumi, dan untuk wilayah bagian tengah terjadi di sekitar pantai-pantai di provinsi DIY.

"Namun, perlu diingat gelombang tsunami yang akan terjadi, tergantung pada topografi dari tempat yang bersangkutan," jelas Endra.

Riset ini dilakukan sebagai upaya untuk dapat mengurangi potensi bencana atau upaya mitigasi yang dapat dipersiapkan.

Sebab, Endra menegaskan bahwa dalam studi ini tidak bicara tentang prediksi kapan gempa besar itu akan terjadi.

Endra menegaskan sains atau peneliti manapun hingga saat ini tidak memiliki kemampuan untuk memprediksi waktu terjadinya gempa bumi tersebut.

Perlu diketahui bahwa jalur gempa atau sumber gempa dapat diketahui dari sejarah kegempaan.

Seperti diketahui ada beberapa daerah yang berpotensi gempa dari barat Aceh, Nias, Bengkulu, Mentawai dan jalur itu, kata Endra, menerus ke selatan Jawa.

"Itu adalah jalur yang memang berpotensi terjadi gempa bumi, tetapi kita harus pahami bahwa di sepanjang jalur tersebut kita tidak tahu kapan akan terjadi gempa," ungkap Endra.

Berdasarkan data gempa bumi yang terekam dari BMKG, dikolaborasikan dengan data analisis GPS dan simulasi tsunami dalam studi Prof. Ir. Sri Widyantoro, serta data pendukung lainnya, riset ini menghasilkan laut selatan Jawa memiliki potensi tsunami dan gempa besar.

Warga Sukabumi Diminta Tak Panik

Ramainya perbincangan mengenai gempa megathrust belakangan ini membuat beberapa ahli kebumian bertanya-tanya.

Apakah masyarakat sudah benar dalam memaknai arti gempa megathrust?

Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Dr Daryono mengatakan, masih banyak yang belum tepat dalam memahaminya.

Menurutnya, pemahaman gempa megathrust dipahami sebagai sesuatu yang baru dan segera akan terjadi dalam waktu dekat, berkekuatan sangat besar, dan menimbulkan kerusakan dan tsunami dahsyat, adalah pemahanan yang kurang tepat.

"Zona megathrust sebenarnya sekadar istilah untuk menyebutkan sumber gempa tumbukan lempeng di kedalaman dangkal. Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua membentuk medan tegangan (stres) pada bidang kontak antar lempeng yang kemudian dapat bergeser secara tiba-tiba memicu gempa," ujar Daryono kepada Tribunjabar.id, Sabtu (26/9/2020).

"Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra bergerak terdorong naik (thrusting)," katanya.

Ia menjelaskan, jalur subduksi lempeng umumnya sangat panjang dengan kedalaman dangkal mencakup bidang kontak antar lempeng.

"Dalam perkembangannya, zona subduksi diasumsikan sebagai (patahan naik yang besar) yang kini populer disebut sebagai zona megathrust," ujarnya.

tribunnews
Daerah-daerah yang merasakan guncangan akibat gempa bumi di Sukabumi. (Twitter Liga 1)

Bukan Hal Baru

Menurutnya, zona megathrust bukanlah hal baru. Di Indonesia, zona sumber gempa ini sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Indonesia.

"Zona megathrust berada di zona subduksi aktif, seperti subduksi Sunda mencakup Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba. Subduksi Banda. Subduksi Lempeng Laut Maluku, subduksi Sulawesi, subduksi Lempeng Laut Filipina, dan subduksi Utara Papua," terangnya.

"Saat ini segmen zona megathrust Indonesia sudah dapat dikenali potensinya. Seluruh aktivitas gempa yang bersumber di zona megathrust disebut sebagai gempa megathrust dan tidak selalu berkekuatan besar," ujarnya.

Daryono mengatakan, sebagai sumber gempa, zona megathrust dapat membangkitkan gempa berbagai magnitudo dan kedalaman.

Data hasil monitoring BMKG menunjukkan, justru gempa kecil yang lebih banyak terjadi di zona megathrust, meskipun zona megathrust dapat memicu gempa besar.

Megathrust Selatan Jawa

Daryono memaparkan, dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017 disebutkan, bahwa di Samudra Hindia selatan Jawa terdapat 3 segmentasi megathrust, yaitu (1) Segmen Jawa Timur, (2) Segmen Jawa Tengah-Jawa Barat, dan (3) Segmen Banten-Selat Sunda.

"Ketiga segmen megathrust ini memiliki magnitudo tertarget M8,7," ujarnya.

Namun demikian, kata dia, jika skenario model dibuat dengan asumsi 2 segmen megathrust yang "bergerak" secara simultan maka magnitudo gempa yang dihasilkan bisa lebih besar dari 8,7.

Besarnya magnitudo gempa yang disampaikan tersebut adalah potensi skenario terburuk (worst case) bukan prediksi yang akan terjadi dalam waktu dekat.

"Sehingga kapan terjadinya tidak ada satu pun orang yang tahu. Untuk itu, dalam ketidakpastian kapan terjadinya, kita semua harus melakukan upaya mitigasi," tuturnya.

Ia menyebutkan, hasil monitoring BMKG menunjukkan bahwa zona megathrust selatan Jawa memang sangat aktif yang tampak dalam peta aktivitas kegempaannya (seismisitas).

"Dalam catatan sejarah, sejak tahun 1700 zona megathrust selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi aktivitas gempa besar (major earthquake) dan dahsyat (great earthquake)," ujarnya.

Bahkan, gempa besar dengan magnitudo antara 7,0 dan 7,9 yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi sebanyak 8 kali, yaitu: tahun 1903 (M7,9), 1921 (M7,5), 1937 (M7,2), 1981 (M7,0), 1994 (M7,6), 2006 (M7,8) dan 2009 (M7,3)

Sementara itu, gempa dahsyat dengan magnitudo 8,0 atau lebih besar yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi 3 kali, yaitu: tahun 1780 (M8,5), 1859 (M8,5), dan 1943 (M8,1).

"Sedangkan untuk gempa dengan kekuatan 9,0 atau lebih besar di selatan Jawa belum tercatat dalam katalog sejarah gempa," ucapnya.

Tsunami Selatan Jawa

Daryono menjelaskan, wilayah selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi tsunami.

Bukti adanya peristiwa tsunami selatan Jawa dapat dijumpai dalam katalog tsunami Indonesia BMKG, dimana tsunami pernah terjadi di antaranya tahun 1840, 1859, 1921, 1921, 1994, dan 2006.

"Selain data tersebut, hasil penelitian paleotsunami juga mengonfirmasi adanya jejak tsunami yang berulang terjadi di selatan Jawa di masa lalu. Seringnya zona selatan Jawa dilanda gempa dan tsunami adalah risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat yang tinggal dan menumpang hidup di pertemuan batas lempeng tektonik," kata dia.

"Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, inilah risiko yang harus dihadapi. Apakah dengan kita hidup berdekatan dengan zona megathrust lantas kita selalu dicekam rasa cemas dan takut?. Tidak perlu, karena dengan mewujudkan upaya mitigasi yang kongkrit maka kita dapat meminimalkan risiko, sehingga kita masih dapat hidup aman dan nyaman di daerah rawan bencana," ujarnya.

(Tribunjabar.id)


Tsunami Pantai Selatan Jawa Gempa Besar


Loading...