Koalisi Sipil Desak Transparansi Perpres TNI soal Teroris

Koalisi Sipil Desak Transparansi Perpres TNI soal Teroris
CNN Indonesia
Editor: Malda Hot News —Senin, 3 Agustus 2020 11:49 WIB

Terasjabar.id -- 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta dengan tegas agar Pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan DPR melakukan pembahasan secara terbuka terkait Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

Koalisis masyarakat sipil ini adalah sejumlah organisasi nonpemerintah yang terdiri atas Imparsial, KontraS, Elsam, PBHI, Setara Institute, HRWG, YLBHI, Public Virtue Institute , ICW, LBH Pers, LBH Jakarta, ICJR, Perludem, Pilnet Indonesia

Mereka menuntut keterbukaan itu agar bisa mengakomodasi seluruh aspirasi masyarakat berkaitan dengan perpres tersebut.

"Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres tersebut secara terbuka," kata salah satu anggota koalisi dari Imparsial, Al Araf, melalui rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (3/8) pagi.

Lagi pula kata Al Araf, pemerintah dan DPR mestinya sangat berhati-hati dalam membahas rancangan Perpres tersebut. Menurutnya bukan tak mungkin rancangan perpres yang pembahasannya tak melibatkan masyarakat justru akan membahayakan kehidupan negara hukum, HAM, dan demokrasi di Indonesia.

Al Araf mengatakan pihaknya pun meminta agar pemerintah bisa menyampaikan draf rancangan Perpres yang disebut-sebut sudah jadi, dan segera disahkan itu kepada publik. Apalagi selama ini, pembahasan bahkan draf Perpres tersebut memang tak dibuka secara utuh kepada publik.

"Pemerintah dan DPR tidak boleh menutup-tutupi rancangan Perpres yang telah selesai tersebut dari masyarakat," kata dia.

Dalam kesempatan itu, Al Araf juga menyampaikan sejumlah poin yang mestinya terkandung di Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme itu. Menurut dia dalam Perpres itu harusnya ada sejumlah substansi yang terkandung dalam setiap bulir pasal yang hendak disahkan. Salah satu contoh, kata Al Araf, berkaitan dengan tugas TNI dalam menjalankan operasi militer selain perang untuk mengatasi aksi terorisme. Untuk hal ini, kata dia, fungsi TNI harus sebatas penindakan.

"Fungsi penindakan itu sifatnya hanya terbatas yakni untuk menangani pembajakan pesawat, kapal atau terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat," kata Al Araf.

Menurut dia, meski terlibat dalam penanganan terorisme TNI ini tidak perlu ikut dalam penanganan terorisme yang ada pada objek vital strategis. Bahkan, dalam hal ancaman terorisme terhadap presiden pun sifatnya harus aktual, yakni ketika terjadi aksi terorisme dan bukan pada saat perencanaan. Selain itu eskalasi ancaman tinggi harus dimaknai terjadi pada saat darurat militer, bukan pada kondisi tertib sipil.

Personel TNI AU Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru menutup pesawat tempur yang menimpa rumah warga dengan terpal di Desa Kubang Jaya, Kabupaten Kampar, Riau, Senin (15/6/2020). Pihak TNI AU menyatakan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa jatuhnya pesawat tempur jenis BAE Hawk 209 dengan nomor registrasi TT-0209. ANTARA FOTO/Rony Muharrman/pras.Prajurit TNI AU Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Riau, 15 Juni 2020. (ANTARA FOTO/Rony Muharrman)

Tak hanya itu, kata Al Araf, penggunaan dan pengerahan TNI dalam aksi penanganan terorisme juga harus berdasar pada keputusan politik negara yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR. Hal ini kata dia, sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) juncto Pasal 5 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh Presiden sehingga jelas tentang maksud, tujuan, waktu, anggaran, jumlah pasukan dalam pelibatannya," kata dia.

Selain itu, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri juga harus menjadi pilihan terakhir, yakni ketika kapasitas penegak hukum sudah tak bisa mengatasinya. Tak hanya itu, pelibatan TNI juga sifatnya sementara dan dalam jangka waktu tertentu.

"Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak boleh bersifat permanen karena tugas utama TNI sejatinya adalah dipersiapkan untuk menghadapi perang," kata dia.

Dia juga mengatakan, Pelibatan TNI harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlaku. Konsekuensinya seluruh prajurit TNI yang terlibat dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri harus tunduk pada KUHAP, KUHP, dan Undang-undang HAM. Mereka pun menyorot soal penggunaan anggaran dari TNI yang berasal dari APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI.

"Pendanaan di luar APBN untuk TNI (APBD dan anggaran lainnya) memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing masing," kata dia.

(tst/kid/CNN)

Jokowi DPR TNI Terorisme


Loading...