Tes PCR Bikin Calon Penumpang Pesawat Garuk-garuk Kepala

Tes PCR Bikin Calon Penumpang Pesawat Garuk-garuk Kepala
CNN Indonesia
Editor: Malda Hot News —Rabu, 3 Juni 2020 15:11 WIB

Terasjabar.id -- Dahi Puput mengernyit membaca peraturan baru pemerintah yang mewajibkan calon penumpang pesawat untuk menyertakan bukti tes negatif covid-19 lewat tes swab Polymerase Chain Reaction (PCR).

Puput bahkan menggaruk-garuk kepalanya, mengingat peraturan bagi calon penumpang moda transportasi udara terus berganti dalam sebulan terakhir.

Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020 diubah menjadi SE Nomor 5 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.


Dalam SE disebutkan bahwa mereka yang melakukan perjalanan dinas dengan pesawat, harus menunjukkan uji tes PCR dengan masa berlaku untuk 7 hari, atau surat keterangan uji rapid tes yang berlaku 3 hari pada masa keberangkatan.

Namun, lain SE Gugus Tugas, lain pula peraturan daerah. Ada setidaknya 6 pemerintah daerah yang mewajibkan tes PCR untuk penumpang pesawat. Salah satunya, Pemda DKI Jakarta.
Akhirnya, Puput yang seharusnya dalam waktu dekat kembali ke Jakarta dari kampung halamannya di Kota Padang, memutuskan untuk menunda perjalanan. Ia menyebut tak mampu jika harus membayar tes PCR yang dibanderol Rp2,5 juta tersebut.


"Kalau pakai PCR mahal banget, aku cari tahu dua jutaan, tiket Padang-Jakarta saja sekarang Rp1 juta-Rp1,8 juta. Mahalan PCR," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/6).

Tak terbersit di bayangan Puput jika ia harus merogoh kocek dalam-dalam untuk dapat kembali bekerja ke ibu kota. Jika tahu akan begini mahal dan ribetnya, mungkin ia tak bakal pulang ke kampung halaman Maret lalu.

Namun nasi sudah jadi bubur, Puput harus menyisihkan Rp2,5 juta untuk jaga-jaga jika ia harus melakukan tes PCR jika pekerjaannya tak dapat lagi ditunda.
Sembari menunggu pengurusan Surat Izin Keluar-Masuk Wilayah (SIKM), Puput berharap pemerintah dapat mengubah peraturan dan mengizinkan seluruh penumpang pesawat untuk menyertakan hasil rapid test yang hanya dibanderol beberapa ratus ribu rupiah.


Ia juga berharap pemerintah menggratiskan tes PCR kepada seluruh WNI. Upaya ini sebagai kewajiban pemerintah memutus rantai penyebaran covid-19.

"Harusnya bagian dari tanggung jawab pemerintah juga buat melakukan pemeriksaan massal. Udah mahal, belum banyak juga tempat tesnya, dan lama hasilnya. Masa iya harus pura-pura jadi ODP atau PDP dulu biar tes PCR-nya gratis," ungkapnya.

Ayu (26), penumpang pesawat lainnya punya cerita berbeda. Ia terbang pada 27 Mei lalu dari kota Padang menuju Jakarta. Disitu, ia melihat bukti betapa tak siapnya pemerintah menjalankan peraturan yang dibuatnya sendiri.


Karyawan swasta di perusahaan asuransi ini hampir gagal terbang akibat peraturan swab PCR oleh Pemerintah DKI Jakarta yang langsung berlaku tanpa menimbang kesiapan maskapai dan penumpang yang telah menyiapkan dokumentasi dari jauh-jauh hari.

Ayu yang sudah menyiapkan SIKM dan surat bebas covid-19 lewat rapid test hanya pasrah kala Dinas Kesehatan Kota Padang dan Gugus Tugas hampir menolak dokumentasinya.

"Tanggal 27 Mei di bandara dokumentasi dicek oleh Dinkes dan Gugus covid-19. Waktu itu mereka juga galau kebijakan Pemprov DKI yang harus swab test. Tapi akhirnya mereka mengizinkan penerbangan dengan syarat penumpang nantinya harus siap dengan kebijakan pemprov DKI," terang Ayu.

Ayu sempat berpikir, ia akan diisolasi saat mendarat. Namun, setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, ia justru bisa 'melenggang kangkung' tanpa instruksi lanjutan.

Meski mengaku senang tak dipersulit, namun Ayu menyebut kebijakan pemerintah yang tumpang tindih tak efektif dalam menekan laju pandemi virus corona. Tak ada standar pasti, peraturan terus berganti, dan ketidaksiapan berbagai pihak menjadi alasan tak mujarabnya penanganan wabah virus corona.

"Kebijakannya yang tumpang tindih dan juga implementasi kebijakan yang sama dengan tanggal terbit kan jadinya merugikan penumpang kalau kebijakannya dadakan begitu," pungkasnya.

Tak cuma calon penumpang pesawat yang mengeluhkan kewajiban tes PCR. Kemarin, Direktur Utama Garuda Indonesia juga menyampaikan kekhawatirannya jika syarat itu dilanjutkan, masyarakat akan menghindari moda transportasi udara.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyebut proses yang mahal itu akan mempengaruhi keputusan seseorang untuk membeli tiket pesawat. Dengan kata lain, industri transportasi udara akan sulit bangkit di tengah pandemi virus corona.

"Tes PCR yang Rp2,5 juta dan beberapa sudah menurunkan harganya itu harganya lebih jauh mahal daripada (tiket) untuk bepergian," ucap Irfan.

Ia mengusulkan agar prosesnya disederhanakan dan biaya PCR bisa lebih murah. Jika tidak, maka kinerja industri berpotensi semakin anjlok ke depannya.

"Ke depan, industri penerbangan akan menghadapi penurunan drastis dari segi penumpang," jelas Irfan.

Sikap Lion Air Group lebih ekstrem lagi. Manajemen memutuskan akan menghentikan sementara operasional penerbangan penumpang berjadwal domestik dan internasional mulai 5 Juni 2020.

Keputusan tersebut didasari hasil evaluasi penerbangan sebelumnya, di mana banyak calon penumpang yang tak dapat melaksanakan perjalanan karena kurang memenuhi kelengkapan dokumen-dokumen dan ketentuan yang telah ditetapkan selama masa kewaspadaan pandemi virus corona (covid-19).

"Lion Air Group harus menjaga serta memastikan kondisi kesehatan fisik dan jiwa seluruh karyawan berada dalam keadaan baik, setelah pelaksanaan operasional penerbangan sebelumnya," ujar Corporate Communications Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro dalam keterangan resmi. (wel/bir/CNN)

Virus Corona Covid 19 Tes PCR


Loading...