(Media Sosial: Mesin Koneksi atau Perusak Kehidupan? )
Oleh Subchan Daragana — Pemerhati Sosial dan Magister Komunikasi Universitas Bakrie
Kita sering menyebut media sosial sebagai alat untuk terhubung, berbagi, dan membangun relasi. Namun setiap hari kita menyaksikan paradoks yang menggelikan, manusia makin rajin berkomunikasi, tetapi makin sulit merasa dekat, makin banyak terhubung, tetapi makin sering kesepian, makin banyak bicara, tetapi makin miskin makna. Di balik layar ponsel, kita seperti hidup di dunia yang ramai namun sepi, berisik namun hampa, luas namun dangkal.
Fenomena ini bukan sekadar masalah etika penggunaan gadget, tetapi persoalan yang lebih dalam, media telah mengubah cara manusia berpikir, berperilaku, bahkan membentuk struktur sosial kita. Itulah inti dari Teori Ekologi Media, kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh Marshall McLuhan, Neil Postman, dan Lance Strate. Mereka menyebut media bukan sekadar alat, tetapi lingkungan tempat manusia hidup. Dan seperti halnya lingkungan fisik, lingkungan media dapat menyehatkan atau merusak.
Hari ini kita hidup di dalam ekologi baru, “ekologi digital”, yang ditarik, digerakkan, dan dikendalikan oleh logika platform media sosial. Maka pertanyaan yang layak kita renungkan adalah, ” apakah media sosial masih menjadi sarana keberkahan dalam hidup kita, atau perlahan berubah menjadi mesin yang merusak cara kita menjadi manusia?
Hidup dalam Lingkungan Baru bernama Layar.
Marshall McLuhan, melalui gagasannya “the medium is the message,” menegaskan bahwa yang membentuk manusia bukan konten, melainkan mediumnya. Jika kita hidup dalam lingkungan televisi, kita akan berpikir visual, cepat, dangkal. Jika kita hidup dalam lingkungan media sosial, kita akan berpikir dalam ritme scrolling, ritme kecepatan, ritme keterputusan. Bukan karena kontennya buruk, tetapi karena mediumnya didesain untuk mempercepat stimulus dan memperlambat kedalaman.

















