Bagi pendukungnya, Soeharto adalah penyelamat republik. Setelah peristiwa G30S 1965, Soeharto tampil sebagai jenderal yang dianggap menyelamatkan negara dari ancaman komunisme. Ia menstabilkan situasi nasional dan memimpin transisi kekuasaan dari Soekarno menuju Orde Baru. Tak dapat dipungkiri pada masa pemerintahannya, Indonesia meraih kemajuan pesat. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun pada 1970–1980-an. Swasembada beras (1984) yang diakui FAO. Pembangunan infrastruktur desa, jalan, waduk, dan sekolah melalui program Inpres dan Repelita. Peran penting Soeharto dalam pembentukan ASEAN (1967) dan diplomasi perdamaian regional. Soeharto membangun stabilitas yang memungkinkan Indonesia modernisasi. Banyak yang berargumen, tanpa Soeharto, Indonesia mungkin terjebak dalam kekacauan ideologis dan ekonomi.
Namun, di balik kejayaan itu, ada bayangan gelap yang panjang otoritarianisme. Pemerintahannya berdiri di atas represi dan ketakutan. Ratusan ribu orang terbunuh dalam penumpasan pasca-G30S, banyak di antaranya tanpa proses hukum. Di era Orde Baru, demokrasi dikerdilkan, pers dibungkam, dan partai politik dikendalikan demi stabilitas kekuasaan. Kekuasaan Soeharto kemudian berubah menjadi dinasti keluarga dan kroni. Transparansi Internasional menobatkannya sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penyelewengan mencapai US$ 15–35 miliar. Kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Timor Timur, Tanjung Priok, Talangsari, hingga Trisakti-Semanggi, menjadi noda sejarah yang tak bisa dihapus dengan beton dan beras. Krisis moneter 1997–1998 akhirnya menelanjangi sistem ekonomi kroni Orde Baru dan menumbangkan kekuasaannya setelah 32 tahun. Rakyat menyebutnya “penguasa yang tumbang oleh rakyatnya sendiri.”
Pengajuan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto memantik pro dan kontra. Pihak pro menilai Soeharto layak karena telah berjasa besar membangun ekonomi dan menjaga stabilitas, meningkatkan kesejahteraan rakyat di masa sulit dan memimpin Indonesia dari isolasi menuju modernitas. Sedangkan pihak kontra menolak keras dengan alasan Soeharto melanggar prinsip moral kepahlawanan melalui korupsi dan pelanggaran HAM, gelar itu akan melukai korban Orde Baru dan mengaburkan makna keadilan sejarah dan pahlawan seharusnya memberi teladan, bukan menanamkan ketakutan.
Jika dianalisis berdasarkan teori Zimbardo (2007), pahlawan sejati adalah mereka yang menegakkan kebenaran melawan sistem yang menindas, bukan yang mengendalikan sistem itu sendiri. Dalam konteks ini, Soeharto lebih dekat pada figur power hero ketimbang moral hero, kuat secara politik, namun lemah dalam moralitas publik. Sementara Hegel (1821) dalam Philosophy of Right menyebut “pahlawan sejarah” sebagai mereka yang mewujudkan roh zaman (Zeitgeist). Memang, Orde Baru lahir dalam konteks kebutuhan stabilitas dan pembangunan, namun ketika “roh zaman” bergeser menuju demokrasi, Soeharto gagal menyesuaikan diri. Dengan demikian, kepahlawanan Soeharto bersifat kontekstual dan parsial, tidak universal seperti yang disyaratkan dalam pemberian gelar Pahlawan Nasional.
Kepahlawanan sejati tidak berhenti pada keberhasilan membangun, tetapi pada keberanian menegakkan kebenaran tanpa menindas kemanusiaan. Soeharto memang membangun Indonesia secara fisik, tetapi ia juga meruntuhkan sendi-sendi demokrasi dan moral politik bangsa. Ia adalah tokoh besar, namun kebesarannya lahir dari sistem yang menindas. Sejarah tidak bisa dihapus, tetapi juga tak bisa dipoles semata dengan narasi keberhasilan ekonomi. Menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sama saja mengajarkan bahwa kekuasaan absolut dan pelanggaran hak asasi dapat dimaafkan selama membawa kemajuan material.














