TERASJABAR.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) meski hari libur sekolah, tetap berjalan. Anak-anak tidak datang ke sekolah, namun makanan tetap datang ke sekolah. Bahkan makan siang itu datang lebih pagi.
Menu MBG bervarias, selain nasi dan lauk-pauk ada juga yang lainnya. Ya keyakinan. Keyakinan bahwa meskipun murid libur, dunia harus tetap diberi makan atau setidaknya, dokumen harus tetap terisi.
Makan siang gratis ini bukan sekadar program. Ia adalah pegawai teladan. Ia tidak pernah izin, tidak pernah cuti, tidak pernah bertanya: kenapa hari ini sekolah kosong? Baginya, pertanyaan adalah pemborosan waktu. Yang penting api menyala dan panci mendidih.
Di halaman sekolah yang sepi, program ini berdiri sendiri, menghitung porsi dengan khidmat.
Satu porsi untuk murid yang tidak hadir.
Dua porsi untuk kelas yang sudah libur.
Tiga porsi untuk data tahun lalu yang belum diperbarui.
Ketika tidak ada anak, makan siang gratis menemukan sasaran lain: meja, kursi, papan tulis. Semua diberi jatah imajiner. Karena dalam birokrasi, yang penting bukan siapa yang makan, tapi berapa yang tercatat dimakan.
Ada rumor di dapur bahwa makan siang ini suatu hari akan naik pangkat. Dari program menjadi kebijakan strategis. Syaratnya sederhana: jangan pernah berhenti, bahkan saat tak ada yang membutuhkan. Terutama saat tak ada yang membutuhkan.
Sementara itu, kalender akademik hanya bisa pasrah. Ia dibuat manusia, tapi dikalahkan oleh tabel realisasi. Tanggal merah boleh ada, tapi tidak berlaku bagi yang sudah masuk RAPBN.
Di tengah libur panjang, MBG bagi anak sekolah terus bergulir. Ia memberi makan kepada sistem yang lapar, pada kesinambungan. Ia setia bukan pada anak-anak, melainkan pada kalimat sakral: pelaksanaan tetap berjalan sesuai rencana.
Maka jika suatu hari anak-anak bertanya, “Bu, kenapa makan siang tetap ada waktu kami libur?”
Jawabannya sederhana dan jujur: Karena di negeri ini, yang paling takut lapar bukan manusia -melainkan program yang berhenti.*
















