Tanda-tandanya sering tidak keras suaranya, tetapi dalam diam kita membaca perang dari dalam: kulit pucat, moonface akibat retensi cairan, rambut yang cepat menipis, langkah yang pelan, tatapan kosong karena brain fog, postur membungkuk seolah tubuh bersikeras membalikkan waktu.
Semua ini bukan sekadar gejala medis, melainkan metafora politik tubuh.
Tubuh yang lelah adalah kekuasaan yang selesai, wajah yang pucat adalah cahaya kuasa yang meredup, mahkota rambut yang luruh adalah tanda berakhirnya sebuah era. Kekuasaan jarang runtuh dengan kerusuhan.
Ia surut dengan keheningan, dengan hilangnya karisma biologis, dengan publik yang tak lagi terpikat pada narasi lama, dengan tubuh yang perlahan berubah menjadi cerminan saatnya layar panggung ditutup. Indonesia kini berada di titik balik peradaban.
Gelombang politik bergeser dari visual ke substansi, dari teater kuasa ke audit memori, dari figur tunggal ke kesadaran kolektif.
Kita sedang memasuki fase Working Prophecy, di mana sejarah tidak hanya dicatat, tetapi ditafsir ulang dan dilahirkan kembali.
Metafora tubuh rapuh (x) sang penguasa bukan tentang satu sosok, melainkan tentang sebuah era yang menua, tentang energi bangsa yang bergerak, tentang cerita yang menuntut penulis huruf pertama baru.
Gejala tubuh hanyalah potongan kecil, tetapi bagi yang membaca dengan mata batin, itu adalah frekuensi alam yang berkata lirih: “Bab ini sudah selesai.”
Autoimun biologis adalah ketika tubuh memerangi dirinya, autoimun politik adalah ketika bangsa memerangi ingatannya.
Di tengah inflamasi sosial itu, kita ditanya: apakah kita akan terus sakit, atau mulai menyembuhkan diri sebagai satu tubuh bernama Indonesia?
Melalui Matt Ridley(67), aktif menulis buku sains populer, dalam Genome: The Autobiography of a Species in 23 Chapters (1999; 2017) mengingatkan bahwa tubuh adalah teks biologis yang menulis dirinya sendiri.
Dikutip ia mengulas: „Gen bukanlah dalang, tetapi juga bukan tidak relevan: gen seperti naskah, ditulis dengan pensil, bukan tinta, dan dapat diedit oleh pengalaman.”
Selain itu, dengan membaca Derrida dalam Dekonstruksi Spiritual(2002) menegaskan bahwa setiap tanda harus dibaca ulang, diurai, dan ditafsirkan kembali.
Lanjut ia katakan: „Tubuh tidak pernah sekadar alami; ia terukir, ditandai, dan diinterpretasikan.”













