Oleh dr. Tifauzia Tyassuma & ReO Fiksiwan „Pria yang digambarkan kepada kita, yang kita diundang untuk bebaskan, pada dasarnya sudah merupakan akibat dari penundukan yang lebih dalam daripada dirinya sendiri. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa adanya pembentukan bidang pengetahuan yang saling terkait, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengasumsikan dan sekaligus membentuk hubungan kekuasaan.” — Micheal Foucault(1926-1984), Discipline and Punish: The Birth of the Prison(1975). Sejarah sering kali tidak runtuh dengan dentuman keras, melainkan dengan suara yang pelan, dengan rambut yang menipis, langkah yang melambat, dan tatapan yang tiba-tiba tampak jauh dari dirinya sendiri. Tubuh manusia, sebagaimana ditunjukkan neurosains, adalah arsip yang mencatat semua yang tak pernah diucapkan. Kortisol yang berlebihan memendekkan telomer, penanda biologis umur harapan hidup; inflamasi kronik mengubah ekspresi gen; wajah menjadi layar bioskop tempat memori hidup diputar ulang. Rambut yang gugur bukan sekadar genetika, melainkan mahkota biologis yang perlahan kembali ke tanah, tanda bahwa tubuh sedang menua bersama sejarah. Dalam imunologi klinis, kita mengenal autoimun, fenomena ketika tubuh menyerang dirinya sendiri. Tanda-tandanya sering tidak keras suaranya, tetapi dalam diam kita membaca perang dari dalam: kulit pucat, moonface akibat retensi cairan, rambut yang cepat menipis, langkah yang pelan, tatapan kosong karena brain fog, postur membungkuk seolah tubuh bersikeras membalikkan waktu. Semua ini bukan sekadar gejala medis, melainkan metafora politik tubuh. Tubuh yang lelah adalah kekuasaan yang selesai, wajah yang pucat adalah cahaya kuasa yang meredup, mahkota rambut yang luruh adalah tanda berakhirnya sebuah era. Kekuasaan jarang runtuh dengan kerusuhan. Ia surut dengan keheningan, dengan hilangnya karisma biologis, dengan publik yang tak lagi terpikat pada narasi lama, dengan tubuh yang perlahan berubah menjadi cerminan saatnya layar panggung ditutup. Indonesia kini berada di titik balik peradaban. Gelombang politik bergeser dari visual ke substansi, dari teater kuasa ke audit memori, dari figur tunggal ke kesadaran kolektif. Kita sedang memasuki fase Working Prophecy, di mana sejarah tidak hanya dicatat, tetapi ditafsir ulang dan dilahirkan kembali. Metafora tubuh rapuh (x) sang penguasa bukan tentang satu sosok, melainkan tentang sebuah era yang menua, tentang energi bangsa yang bergerak, tentang cerita yang menuntut penulis huruf pertama baru. Gejala tubuh hanyalah potongan kecil, tetapi bagi yang membaca dengan mata batin, itu adalah frekuensi alam yang berkata lirih: “Bab ini sudah selesai.” Autoimun biologis adalah ketika tubuh memerangi dirinya, autoimun politik adalah ketika bangsa memerangi ingatannya. Di tengah inflamasi sosial itu, kita ditanya: apakah kita akan terus sakit, atau mulai menyembuhkan diri sebagai satu tubuh bernama Indonesia? Melalui Matt Ridley(67), aktif menulis buku sains populer, dalam Genome: The Autobiography of a Species in 23 Chapters (1999; 2017) mengingatkan bahwa tubuh adalah teks biologis yang menulis dirinya sendiri. Dikutip ia mengulas: „Gen bukanlah dalang, tetapi juga bukan tidak relevan: gen seperti naskah, ditulis dengan pensil, bukan tinta, dan dapat diedit oleh pengalaman.” Selain itu, dengan membaca Derrida dalam Dekonstruksi Spiritual(2002) menegaskan bahwa setiap tanda harus dibaca ulang, diurai, dan ditafsirkan kembali. Lanjut ia katakan: „Tubuh tidak pernah sekadar alami; ia terukir, ditandai, dan diinterpretasikan.” Karena itu, tubuh fisik dan politik sang (x) sang penguasa — dari Firaun, Nimrod hingga Attarurk, Hitler maupun Polpot — selalu menjadi teks yang ditulis ulang oleh kuasa, sehingga kerentanannya adalah hasil dari ulah manusia sendiri. Sementara, Andrew Newberg, dan Mark Robert Waldman dalam Born to Believe: God, Science, and the Origin of Ordinary and Extraordinary Beliefs (2006; 2013) menunjukkan bahwa keyakinan, baik yang benar maupun yang bohong, tetap membentuk perilaku manusia. Newberg(59), profesor serta peneliti neuroteologi di Thomas Jefferson University dan Waldman(70), aktif mengajar serta melatih program NeuroWisdom hingga 2025 ini, menegaskan: „Keyakinan memberikan makna pada misteri kehidupan. Keyakinan memotivasi kita, memberi kita keunikan individual, dan pada akhirnya mengubah struktur dan fungsi otak kita.” Dengan kata lain, tubuh fisik maupun politis penguasa yang merapuh adalah metafora mendalam tentang keyakinan yang retak, tentang era yang kehilangan daya, tentang bangsa yang sedang berganti kulit. Setiap helai rambut yang gugur di panggung sejarah adalah tanda bahwa halaman berikutnya menunggu dituliskan. Tubuh biologis dan tubuh politik sama-sama menyimpan pesan: bahwa peradaban tidak runtuh dengan ledakan, melainkan dengan keheningan yang mengabarkan saatnya bab baru dimulai. (Sumber: Hati Pena)**** coversongs: Josh Weathers(47), musisi asal Texas yang saat ini masih aktif tampil serta merilis musik. Lagu “Mind, Body & Soul” dirilis pertama kali bersama album Josh Weathers Band(2006), kemudian masuk kompilasi yang dirilis ulang pada 15 Januari 2013. Lagu ini menekankan kesatuan antara pikiran, tubuh, dan jiwa sebagai fondasi kehidupan yang utuh dan penuh makna. creator foto: Diarsir AI dari foto asli sang (x) penguasa. *Ditulis ulang dengan menambahkan rujukan mutakhir filsafat dan sains populer berdasarkan unggahan tulisan SOMEBODY PLEASE HELP HIM! media X dari Dokter Tifa.