Dalam sudut pandang Yadi, ada tiga komponen mengapa pemberantasan korupsi seperti jalan di tempat.
Yang pertama, lanjut Yadi, penegakan hukum yang sering kali berhenti di lingkar luar, tidak menyentuh aktor inti. Kemudian pengawasan internal birokrasi yang lemah, bahkan kadang menjadi bagian dari masalah.
Yang ke tiga, ujar dia, adalah budaya permisif: korupsi dianggap wajar selama ‘tidak keterlaluan’.
Yadi menegaskan, ucapannya bukan sekadar kritik, tetapi realitas yang dapat disaksikan dalam banyak kasus — dari proyek kecil hingga megaproyek negara.
Semua ini terjadi karena Indonesia sudah terlalu lama hidup dalam lingkaran setan korupsi.
Dari rezim ke rezim, jargon pemberantasan korupsi terus didengungkan, tetapi praktiknya justru semakin menggila, semakin sistematis, dan semakin terstruktur. Negara tampak bekerja keras, tetapi para koruptor bekerja lebih cepat, lebih rapi, dan lebih terorganisir. ***
















