Abah itu mandiri, sehat, dan “juara lahir batin”. Langkah masih cekatan, berdiri tegak, makan pun relatif “ponyo”. Saya pernah mendengar yang menjadi kekhawatiran Abah adalah pohon-pohon ada yang menebang, bukit-bukit “bulistir” (sudah tidak berpohon). Akibatnya orang-orang di sekitarnya menjerit, seperti “lauk kasaatan”. Jangan-jangan, lembur di atas pun akan merasakan kesengsaraan sama. Abah takut “dibendon” karuhun karena tidak bisa memegang amanah.
Saat ini, Darmaloka, “nunggelis”. Abah sudah berpulang. “Mulih ka jati, mulang ka kalanggengan”. Balong Beunteur, sebagai pusat mataair, sudah mulai berkurang alirnya. Paralon mengular. Nyaris kehilangan nilai estetis. Daun-daun kering berserakan di mana-mana. Ikan “beunteur” hilang gairah. Saya masih mengingat dengan baik, Abah seperti memendam keharuan mendalam, saat Abah “dileler” Kalpataru. Bertemu presiden RI.
Abah merasa orang kampung, berpakaian alakadarnya, khas Abah. Sebab Abah tetap Abah, tidak akan berubah. Luar biasa mendapatkan penghargaan prestisius.Harus ada yang mau meneruskan jejak mulia Abah. Agar tidak “pareumeun obor”. dan ada yang melanjutkan “tapak lacak”.***
Editor: van