Oleh: A. Effendy Choirie Ketua Umum DNIKS, Anggota DPR RI FPKB 1999–2013
Pendahuluan
Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional, untuk mengenang jasa besar para ulama dan santri dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan. Momentum ini bukan sekadar seremoni, tetapi peringatan akan kontribusi nyata pesantren sebagai pejuang agama, pengusir penjajah, penjaga negara, dan kini menjadi pegiat kesejahteraan umat.
Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan keagamaan, melainkan juga pusat pergerakan sosial, politik, dan ekonomi yang berakar kuat dalam sejarah bangsa.
1. Pesantren sebagai Pejuang Agama Pesantren berdiri atas semangat dakwah dan pendidikan Islam. Para ulama seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Idris Jamsaren, KH Mahfudz Termas, dan KH Khalil Bangkalan mendirikan pesantren untuk menjaga kemurnian akidah umat. Pesantren melahirkan ulama pejuang yang tidak hanya mengajar di ruang kelas, tetapi terjun ke masyarakat, menjadi pemimpin moral dalam melawan kebodohan dan ketidakadilan sosial.
2. Pesantren sebagai Pengusir Penjajah Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari dan para ulama Nahdlatul Ulama mengeluarkan Resolusi Jihad yang menyerukan kewajiban mempertahankan kemerdekaan. Fatwa itu menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajah adalah fardhu ‘ain bagi setiap Muslim Indonesia. Seruan ini memicu Perang 10 November di Surabaya. Ribuan santri dari pesantren Lirboyo, Tebuireng, dan Tremas membentuk Laskar Hizbullah dan Sabilillah, berjuang dengan semangat jihad kebangsaan.
3. Pesantren sebagai Penjaga Negara Pasca kemerdekaan, pesantren menjadi penjaga keutuhan bangsa. Ulama pesantren meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Mereka mengajarkan moderasi beragama (wasathiyyah), menolak ekstremisme dan liberalisme, serta menjadi peneguh moralitas bangsa di tengah polarisasi politik dan sosial.