Oleh: Subchan Daragana
Pemerhati Sosial / Magister Komunikasi Universitas Bakrie
Di zaman ini, setiap orang punya panggung, dan media sosial menjadi tirainya. Dari layar kecil di genggaman, kita menonton dunia dan pada saat yang sama, dunia menonton kita. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apa yang sebenarnya kita lihat di layar itu? Dunia, atau diri kita sendiri?
Media sosial, sejatinya, bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah cermin besar yang memantulkan wajah manusia modern. Di sana tampak cinta dan kepalsuan, solidaritas dan iri hati, inspirasi dan kesombongan, semua dalam satu bingkai yang disebut feed. Cermin ini tidak berbohong; ia hanya menampilkan apa yang kita letakkan di depannya.
Dalam sosiologi media, Jim Sterne (2010) menyebut bahwa data dan interaksi digital adalah refleksi perilaku manusia bukan penyebabnya. Artinya, media sosial tidak menciptakan sifat baru dalam diri kita, ia hanya memperbesar apa yang sudah ada.
Jika seseorang dermawan, ia akan berbagi kebaikan di dunia maya. Tapi jika seseorang haus pengakuan, ia akan memoles kebaikan itu menjadi konten.
Cermin tidak pernah memihak; ia hanya menampilkan isi hati dalam bentuk visual.
Namun yang berbahaya adalah ketika kita lebih percaya pada pantulan daripada pada diri sendiri. Kita mulai menilai kebahagiaan dari jumlah “like”, mengukur nilai diri dari jumlah pengikut, dan memaknai kasih sayang dari komentar yang manis. Padahal semua itu hanyalah bayangan ilusi digital yang bisa hilang dalam satu refresh.
Dalam teori komunikasi massa, Erving Goffman (1959) menyebut manusia selalu “memerankan diri” di depan publik sebuah drama sosial di mana kita memakai topeng berbeda untuk tiap panggung. Di dunia digital, topeng itu bernama filter, caption, dan story. Kita tampil bukan untuk berbicara, tapi untuk direpresentasikan.
Hubungan sosial pun berubah dari “saling memahami” menjadi “saling memamerkan”.
Fenomena ini disebut presentasi diri digital dan ia menjelaskan kenapa media sosial sering membuat kita lelah. Kita terus tampil, terus tersenyum, terus berusaha terlihat baik, sampai lupa bagaimana rasanya jujur apa adanya.

















