Kalimat “keras” JkW itu sebenarnya kalau dalam kebiasaan dialektika masyarakat Jawa, utamanya Jogja dan Solo, disebut “ngowah-ngowahi adat” alias memang bisa disebut aneh atau tidak lazim diucapkan oleh masyarakat yang menjunjung nilai-nilai kesantunan dan kesopanan. Orang Jawa sejati tidak akan pernah mau melakukan pemilihan diksi “ancaman” semacam yang digunakan JkW itu, karena biasanya lebih memilih sikap diam untuk mengalah, atau bisa juga dijawab dengan senyum atau tertawa. Bahkan terkadang malah dicandain dengan kalimat “Jogetin saja” sebagaimana yang pernah juga diucapkan oleh Fufufafa beberapa waktu yang lalu.
Sikap bisa tetap menjaga diri alias “tidak perlu menampakkan emosi” tersebut tercernin juga dalam kebiasaan sehari-hari masyarakat Jawa dalam berbusana daerah ketika harus membawa Gaman / Senjata bela diri yang populer dengan sebutan Keris. Cerita tentang keris termasuk bagaimana kisah keris legendaris buatan Mpu Gandring yang digunakan oleh Ken Arok dan Keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro yang sempat disita Belanda namun kini sudah dikembalikan ke Indonesia pernah saya tulis dalam artikel terdahulu, jadi tidak akan diulas lagi disini. Namun yang penting sekarang adalah bagaimana Keris tersebut dibawa atau ditempatkan sehari-hari bila menggunakan busana Daerah, khususnya Jawa.
Meski selain di Jawa keris juga terdapat di Madura, Bali, Sumatra, dan Sulawesi serta keberadaan keris sudah tercatat sejak abad ke-9 dalam relief Candi Borobudur dan Prasasti Karangtengah, namun khusus di Jawa cara menentengnyapun cukup unik, yakni diselipkan di belakang pinggang, bukan di depan. Alasan filosofis penempatannya seperti itu adalah untuk melambangkan kerendahan hati (Artinya seorang ksatria tidak boleh menonjolkan senjatanya untuk menunjukkan kekuatan) dan Mengajarkan pengendalian diri (Artinya kerus di belakang berarti seseorang tidak boleh gegabah dalam menggunakan kekuatan).
Selanjutnya juga penempatan dibelakang punggung ini akan melambangkan kepercayaan diri dan kedewasaan (Artinya di belakang punggung menunjukkan bahwa pemiliknya siap menghadapi tantangan tanpa harus bersikap agresif) dan Menunjukkan bahwa keris adalah pusaka, bukan alat kekerasan (Karena keris lebih sebagai simbol kebijaksanaan dan kehormatan, bukan hanya sekadar senjata saja). Jadi memang bagi Orang Jawa asli yang mengerti benar filosofi adiluhung akar budayanya tersebut, dia akan menempatkan Gaman / Alat tersebut dibalik punggungnya, bukan dengan “menantang” secara vulgar atau agresif didepan. Inilah makna kenapa saya kemarin juga (sengaja) membawa Wayang dibelakang, tidak menampakkan nya secara atraktif didepan.
Apalagi kalau masyarakat sudah bisa memaknai kisah yang sudah saya pentaskan semenjak 2014 lalu dan kini sering saya remindering sebagai “Petruk dadi Ratu” dimana terjadi pererubahan dari hanya Petruk / masyarakat biasa, Sok sederhana dan plonga-plongo, menjadi Raja yang Dzalim, Penuh kebohongan (dengan nama “Prabu Kantong Bolong” dan “Welgeduwelbeh” dengan “Jimat Kalimasada” serta disandingkan dengan Kaos yang saya pakai bergambar “The real Kingmaker” sosok Don Corleone jaman Al Capone “The Gosfather” di era kelam tahun 50-an lalu, sudah tepatlah penggambaran sosok dia selama ini sebagai seorang yang berperilaku Jahat dan Licik kepada Rakyatnya sekedar hanya mencari keuntungan pribadi dan keluarganya.