Pertapaan di Batu Gunung Ciremai
Satria mendaki Gunung Ciremai hingga menemukan sebuah batu besar yang sunyi. Di sanalah ia bertapa selama 40 hari 40 malam. Tubuhnya kering, namun semangatnya tak padam. Dalam keheningan malam ke-40, muncul sosok harimau putih bersinar—sang leluhur agung, Prabu Siliwangi.
“Satria… darahmu adalah darahku. Kau adalah cucuku, pewaris kekuatan dan kebijaksanaan Pajajaran. Kini kuturunkan padamu kesaktian untuk menegakkan keadilan.”
Dengan kesaktian warisan Prabu Siliwangi, Satria turun gunung. Namun ia tidak kembali ke Padabeunghar secara terang-terangan. Ia memilih tinggal di sebuah tempat sunyi, tak jauh dari Gunung Kuda. Dari sana, ia memanggil kekuatan alam untuk memindahkan seluruh kekayaan sang kakak secara gaib—padi di lumbung, perhiasan, hingga koin emas pun lenyap.
Kutukan Kulit dari Keturunan Prabu
Tak hanya itu, Satria mengutuk penduduk kampung yang telah menindasnya. Dalam semalam, warga Padabeunghar mulai menderita penyakit kulit aneh. Tubuh mereka dipenuhi sisik, gatal, dan bernanah. Tidak ada tabib yang mampu menyembuhkannya. Sang kakak pun terkena dampaknya—kulitnya mengelupas dan wajahnya penuh borok.
Ketakutan dan malu, sang kakak akhirnya menangis dan memohon ampun kepada adiknya. Para tetua kampung pun beramai-ramai mendatangi Satria, bersujud meminta maaf dan pertolongan.