Oleh : Subchan Daragana
Bobotoh / Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi UBakrie
Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) pada laga Persib Bandung melawan Persebaya Surabaya menghadirkan pemandangan yang menyejukkan. Lebih dari 22 ribu bobotoh hadir, tribun bergemuruh, warna biru membentang, dan koreografi berjalan rapi. Namun, yang paling mengesankan bukan sekadar gol atau skor, melainkan sikap kedisiplinan ribuan bobotoh. Mereka masuk stadion dengan tertib, mendukung dengan penuh semangat, menaati aturan, lalu pulang dengan aman dan damai.
Fenomena ini bukan sekadar detail teknis penyelenggaraan pertandingan, melainkan pesan kolektif. Pesan bahwa suporter bisa dewasa, bahwa cinta pada klub tidak harus identik dengan kericuhan, dan bahwa komunitas besar mampu menunjukkan keteraturan. Dari stadion, pesan itu mengalir ke ruang publik: Bandung bisa aman, bobotoh bisa dipercaya, dan Indonesia bisa belajar.
Stadion sebagai Ruang Komunikasi
Bila dilihat dengan kacamata ilmu komunikasi, stadion malam itu adalah ruang komunikasi massa. Ribuan orang hadir dengan perilaku yang seragam—tertib, rapi, disiplin. Perilaku kolektif itu berbicara jauh lebih kuat daripada orasi atau slogan. Ia menjadi bahasa simbolik yang mengirimkan pesan tentang kedewasaan, tanggung jawab, dan kebanggaan.
Dalam teori komunikasi, perilaku massa selalu memproduksi makna. Bobotoh yang menjaga keteraturan sedang berkata: “Kami bisa tertib, kami bisa disiplin.” Pesan itu tersampaikan tanpa kata-kata, tetapi dipahami oleh semua orang yang menyaksikan.