TERASJABAR.ID – Pasangan suami istri (pasutri) Dimas dan Nenden, warga Dusun Babakanlor Desa Galaherang Kec. Maleber, Kab. Kuningan, saat ini sudah kembali ke kampung halaman. Korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kamboja itu, bersama tujuh WNI lainnya, berhasil dipulangkan oleh Bareskrim Polri.
Seusai melepas rindu di kampung halaman, korban bersama keluarga berkunjung ke Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar., didampingi Yusuf Dandi, Ketua MPK (Masyarakat Peduli Kuningan) dan Kepala Disnaketrans Kuningan, Guruh Zulkarnaen, di ruang kerja Bupati, Senin (29/12/2025).
Dimas berkisah tentang perjalanan menuju Kamboja. Berawal ketika diajak seorang teman saat sedang mencari pekerjaan di Karawang. Ia ditawari pekerjaan di Kamboja dengan janji gaji Rp 9 juta per bulan, makan dan tempat tinggal ditanggung pihak perusahaan.
“Dalam kondisi tekanan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan, tawaran itu langsung saya terima. Terlebih diberi kemudahan tanpa paspor dan biaya. Saya bersama istri langsung daftar lalu diberangkatkan melalui jalur berlapis, mulai dari Batam, Malaysia, hingga akhirnya tiba di Phnom Penh, Kamboja. Setibanya di bandara, saya bersama istri dan beberapa WNI lainnya langsung dijemput aparat setempat yang sudah memegang foto dan data kami,” ungkapnya.
Begitu tiba di sana, merekaa dibawa ke kompleks perusahaan bernama Kasino 168, dikelilingi tembok tinggi, kawat listrik, CCTV, dan pos penjaga. Pekerja disitu tidak akan bisa kabur. “Saya dan teman kerja yang lain setiap hari mengalami tekanan berat. Bahkan jika tidak memenuhi target, para pekerja disiksa dengan cara dipukul oleh atasan. Setiap hari ditekan, dipukul,” jelas Dimas.
Menurut Nenden, hukuman fisik terhadap pekerja menjadi rutinitas. “Kami disiksa, disuruh squat jump, bahkan dipaksa minum air cuka kalau tidak memenuhi target,” tuturnya.
Kesempatan kaburpun datang saat pihak perusahaan mengadakan makan tim di luar kantor. Berbekal keberanian dan spontanitas, Dimas dan istri berpura-pura izin ganti baju, lalu kabur melarikan diri.
“Kami bersembunyi di sebuah hotel, lalu berjalan kaki menuju area persawahan sebelum akhirnya menghubungi teman di Medan yang lebih dulu kabur. Dari sana, kami dipesankan taksi menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh,” tutur Nenden.
“Malam itu kami tidur di taman depan KBRI karena kantor sedang tutup. Dengan sisa uang 100 dolar dari tabungan gaji selama lima bulan bekerja, kami bertahan di penginapan murah hingga akhirnya mendapat bantuan,” katanya.*

















